Tinjaun
Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pendahuluan
Kekerasan
dalam rumah tangga (disingkat KDRT)
adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh
suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah
kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban
justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga
itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak
bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering
ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan
sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan
masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya.
Daftar isi
- PENDAHULUAN
- KEKERASAN DALAM RUMAH TNGGA
- 1 Bentuk-Bentuk KDRT
- 2 Penyebab KDRT
- 3 Upaya Pemenuhan Hak-hak Korban KDRT
- 5 Perbahasan
- 6 Faktor- faktor penyebab terjadinya KDRT
- 7 Upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir KDRT
- 8 Langkah-langkah isteri yang dapat dilakukan apabila menghadapi KDRT
- 9 KESIMPULAN
- REFERENSI
KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagiah, aman, dan
damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan
keutuhan dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam
lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri
setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan keluarga dapat terganggu jika
kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhrinya
terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidak amanan atau
ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk menegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, negara dan masyarakat harus memahami dengan benar factor-faktor
yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, sehingga
memudahkan melakukan pencegahan, perlindungan dan penindakan pelaku sesuai
dengan falsafah pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pada dasarnya pernikahan adalah sama yaitu membentuk suatu
keluarga yang bahagia dan kekal serta membangun, membina dan memelihara
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai di samping untuk memperoleh
keturunan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa, Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap
isteri yang terjadi pada saat ini mengalami peningkatan baik dari segi
kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya. Hal ini tentunya mendapat
perhatian dari semua pihak untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan,
faktor-faktor penyebabnya dan bagaimana perlindungan hukum bagi isteri yang
menjadi korban kekerasan suami.
Kekerasan dalam rumah tangga yang dapat kita lihat melalui
kekerasan terhadap isteri bervariasi, seperti kekerasan fisik , phisikis,
seksual dan kekerasan berupa penelantaran, hal ini diancam dengan ketentuan
pidana yang terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga
terhadap istri dapat menggunakan aturan-aturan hukum baik dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan maupun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Terhadap Rumah tangga .
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
sprituil dan material.
Kemudian dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dapat kita lihat dengan adanya yang menentukan hak dan
kewajiban suami isteri, yaitu wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Dari kedua pasal di atas menggambarkan adanya larangan
kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan oleh suami terhadap isteri.
Apalagi menurut pandangan bangsa Indonesia bahwa Lembaga Perkawinan adalah
lembaga yang sakral. Namun kenyataan membuktikan, bahwa telah terjadi kekerasan
yang di alami oleh perempuan, khususnya istri yang dilakukan suami terhadap
istri di Kabupaten Pohuwato.
Berbagai bentuk kekerasan fisik kepada isteri tidak hanya
bersifat fisik seperti melempar sesuatu, memukul, menampar, sampai membunuh.
Namun juga bersifat non fisik seperti menghina, berbicara kasar, ancaman.
Kekerasan seperti ini adalah dalam bentuk kekerasan psikologi/kejiwaan.
Dari kasus-kasus seperti di atas, ternyata masih banyak
kasus kekerasan terhadap isteri yang tidak di laporkan dengan alasan,
bahwa hal ini merupakan urusan intern keluarga. Suatu penomena dalam
masyarakat, Indonesia yang menganggap bahwa menceritakan keburukan atau tindak
kekerasan yang di lakukan oleh suami sendiri adalah seperti membuka aib
keluarga sendiri pada hal kita ketahui bersama bahwa tindakan suami tersebut
merupakan suatu tindakan kriminal.
Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah
perlindungan hukum bagi perempuan khususnya isteri yang menjadi korban
kekerasan suami. Walaupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada beberapa
pasal yang mampu menjerat perlakukan kekerasan ini, namun tindak kekerasan
suami terhadap istri masih sering terjadi.
Perkembangan dewasa ini di Kabupaten Pohuwato menunjukan
bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga meningkat, fisik dari jumlah 7
kasus tahun 2009 menjadi 10 kasus 2009, psikis 3 kasus tahun 2009 men jadi 5
kasus 2010, seksual 2 kasus menjadi 5 kasus dan penelantaran 5 kasus tahun 2009
menjadi 8 kasus tahun 2010. Kekerasan dalam rumah tangga pada kenyataannya
banyak terjadi, dari angka tersebut penelitian saya lakukan untuk
mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga di Kabupaten Pohuwato yang dilakukan suami terhadap istrinya
khususnya kekerasan fisik (Data Unit PPA Polres Pohuwato).
Upaya untuk menemukan indikasi-indikasi yang berkaitan
dengan kekerasan terhadap isteri oleh suami terutama di Kabupaten Pohuwato
perlu mendapat perhatian serius. Dengan di temukan indikasi-indikasi tersebut,
dapat di ketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap
istri dan dapat di lakukan pencegahan dengan penanganan serta
penanggulangannya.
Dari uraian di atas, maka peneliti ingin meneliti tentang
kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap kaum isteri dan faktor-faktor
apakah penyebab kekerasan terhadap isteri dan perlindungan hukum terhadap
isteri yang menjadi korban kekerasan suami.
Bentuk-Bentuk KDRT
Kekerasan Fisik
- Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan:
- Cedera berat
- Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
- Pingsan
- Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
- Kehilangan salah satu panca indera.
- Mendapat cacat.
- Menderita sakit lumpuh.
- Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
- Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
- Kematian korban.
- Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
- Cedera ringan
- Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
- Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.
Kekerasan Psikis
- Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
- Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
- Gangguan stres pasca trauma.
- Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
- Depresi berat atau destruksi diri
- Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
- Bunuh diri
- Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
- Ketakutan dan perasaan terteror
- Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
- Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
- Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
- Fobia atau depresi temporer
Kekerasan Seksual
- Kekerasan seksual berat, berupa:
- Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
- Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
- Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
- Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
- Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
- Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
- Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
- Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
Kekerasan
Ekonomi
- Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
- Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
- Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
- Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
- Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Penyebab KDRT
Penyebab KDRT adalah:
- Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara
- Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun
- KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
- Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan
Upaya Pemenuhan Hak-hak Korban KDRT
Upaya-upaya dalam pemenuhan hak-hak korban KDRT harus
diakui kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya
perlindungan hak-hak korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah
privat yang tidak seorang pun diluar lingkungan rumah tangga dapat memasukinya.
Lebih kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam
perjalanannya UU ini masih ada beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi
perempuan korban kekerasan. PP No. 4 tahun 2006 tentang
Pemulihan merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan
mempermudah proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam mandat UU
ini.
Selain itu, walaupun UU ini dimaksudkan memberikan efek
jera bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal
dan hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan
atau denda terasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak
yang diterima korban, bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan ketentuan
hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat
fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada
proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu
upaya strategis diluar diri korban guna mendukung dan memberikan perlindungan
bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpanya.
Rumusan
Masalah
Mengacu pada permasalahan tersebut
diatas, maka pokok-pokok persoalan yang dibahas secara mendalami adalah :
- Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri?
- Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Suami Terhadap Istri dapat diminimalisir?
Pembahasan
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga(KDRT) Oleh Suami Terhadap Istri
Maraknya kekerasan erat kaitannya dengan sifat agresif
makhluk hidup termasuk manusia untuk mempertahankan diri agar survive,
disamping itu terjadinya kekerasan mempunyai akar yang kuat pada pola pikir
materialism dan sikap egois, sehingga kekerasan telah menjadi fenomena sosial
yang terjadi dimana-mana, baik dalam masyarakat perkotaan maupun pedesaan.
Kekerasan terhadap sesama manusia seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu.
Kekerasan bukan saja terjadi dalam ruangan publik, tetapi juga terjadi dalam
ruang domestik (rumah tangga).
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Pohuwato, maka yang
pertama harus di lihat adalah gambaran dari hasil penelitian tentang jumlah
kekerasan dalam rumah tangga yang di laporkan pada Polisi Resort (Polres)
Pohuwato selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2010-2011 dan dapat di lihat pada
tabel 1 berikut ini :
Tabel 1: Jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga
dilaporkan tahun 2010-2011
No
|
Tahun terjadinya kekerasan
|
Jumlah kasus
|
1.
|
2010
|
12
|
2.
|
2011
|
12
|
Jumlah
|
24
|
Data di atas menunjukan jumlah kekerasan dalam rumah tangga
yang dilaporkan kepada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Pohuwato tahun
2010 yaitu ada 12 kasus dan pada tahun 2011 ada 12 kasus, berarti tidak
ada kenaikan. Dengan demikian jumlah kasus yang di laporkan pada Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Pohuwato selama periode 2010-2011 sejumlah
24 kasus yang menunjukkan adanya angka yang sama jumlah kasus dari tahun
2010-2011.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, maka 11 orang responden telah memberikan jawaban yang bervariasi atas
pertanyaan ini dapat dilihat pada tabel
Tabel 2:Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga
No
|
Penyebab Kekerasan Terhadap Responden
|
Jumlah Responden
|
1
|
Ekonomi
|
5
|
2
|
Selingkuh
|
3
|
3
|
Perilaku
|
3
|
Sumber : Data primer diolah dari kuisoner, 2011
Dari data di atas dapat terlihat bahwa ada beberapa hal yang
menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga, yaitu :
- Faktor Ekonomi
- Faktor Perselingkuhan
- Faktor perilaku
Menurut Jabrin Kadir, SH (Kanit PPA) wawancara, tanggal 15
November 2011, mengatakan bahwa korban pada umumnya datang melapor
dan mengadu hanya mengaku telah dianiaya tetapi tidak jelas apa penyebabnya
sehingga dianiaya. Walaupun ada korban yang mengatakan faktor penyebabnya
adalah faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Korban biasanya tidak mau menceritakan hal sebenarnya mengapa ia dianiaya,
sehingga polisi hanya memproses pengaduan tersebut tanpa melihat lebih jauh
faktor penyebabnya. Faktor ekonomi dimaksud adalah masalah penghasilan suami,
sehingga seringkali menjadi pemicu pertengkaran yang berakibat terjadinya
kekerasan fisik dan penelantaran rumah tangga. Selanjutnya ia mengemukan bahwa
selain faktor ekonomi yang dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga adalah faktor perselingkuhan yang dapat menyebakan atau berujung
pada kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi.
Kekerasan fisik dapat
terjadi karena antara pelaku dan korban selalu cekcok atau bertengkar karena
adanya perselingkuhan dari salah satu atau kedua-duanya masing-masing
berselingkuh dengan orang lain. Begitu pula tentang penelantaran rumah tangga
yang terjadi karena adanya perselingkuhan yaitu pelaku sering meninggalkan
rumah tanpa alasan, sehingga tidak mengurus lagi orang-orang dalam lingkup
rumah tangganya. Faktor perilaku yang dapt menjadi penyebab kekerasan dalam
rumah tangga adalah perilaku buruk seseorang seperti seseorang yang mempunyai
sifat tempramen tinggi, gampang marah, kasar berbicara, suka main judi, pemabuk
dan mudah tersinggung, pencemburu dan sifat tersebut dapat dengan cepat terpengaruh
untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang di sekelilingnya. Untuk mengkaji
dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
dapat dilihat gambaran sebagai berikut
Faktor Ekonomi
Masalah ekonomi secara umum dapat dikatakan sebagai salah
satu faktor yang dapat memicu adanya pertengkaran yang berujung pada kekerasan
dalam rumah tangga. Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga dapat dilihat ada tabel berikut ini:
Tabel 3. Pekerjaan Pelaku KDRT
No
|
Jenis Pekerjaan Pelaku
|
Jumlah Responden
|
1
2
3
|
Petani
Tukang Bentor
PNS
|
3
1
1
|
|
Jumlah
|
5 orang
|
Data: Unit PPA Polres Pohuwato 2011
Menurut Jabrin Kadir SH (wawancara, tanggal 15 November
2011) bahwa kasus-kasus yang dilaporkan karna alasan ekonomi memang pada
umumnya karna penghasilan kurang yaitu ada tuntutan istri yang selalu minta
lebih kepada suami, sedangkan suami tidak mampu memenuhinya. Tetapi ada juga
dari yang berpenghasilan cukup atau berlebih yaitu karena korban atau istri
tidak bisa mengatur keuangan rumah tangga, sehingga berapapun besarnya uang
yang diberikan selalu habis.
Hal senada di sampaikan oleh Patahuddin B, SH (wawancara,
tanggal 23 Januari 2012) bahwa kalau sepintas lalu seseorang memukul istri
karena masalah ekonomi, disini bukan hanya karna penghasilan rendah tetapi juga
ada yang berpenghasilan cukup. Faktor ekonomi juga sangat bervariasi bentuknya,
misalnya istri selalu minta uang belanja melebihi jumlah penghasilan suaminya.
Si suami yang punya tempramen tinggi dan cepat marah setiap istri
minta uang belanja selalu dibalas kata-kata kasar bahkan dengan pukulan. Kasus
lain dimana pelaku bukan karna kekurangan tetapi berlebih atau cukup sehingga
selain memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan cukup, juga memakai untuk
membiayai hidup perempuan selingkuhnya, sehingga sedikit tersinggung langsung
memaki-maki atau memukul istrinya karna untuk menutupi perselingkuhannya.
Kasus yang lain yakni ketika istrinya selalu menghina,
selalu mencelanya bahkan memaki-makinya kalau ada masalah di dalam rumah
tangga, bukan karena kurang uang bahkan dapat dikatakan berlebih hanya dalam
hal ini disebakan karena penghasilan istri yang memenuhi segala keperluan rumah
tangga. Kalau suami merasa kesal diperlakukan demikian cekcok maka biasanya
berujung pada kekersan fisik.
Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena faktor
ekonomi relatif dapat di lakukan baik yang berpenghasilan cukup maupun yang
berpenghasilan kurang dapat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan dalam
rumah tangga, hanya bentuknya beda.
Faktor Perselingkuhan
Menurut Jabrin Kadir SH (wawancara tanggal 15 November 2011)
Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah
perselingkuhan. Perselingkuhan adalah salah satu faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Berbagai alasan yang
secara umum nyatakan bahwa karena adanya perselingkuhan dari salah satu
pihak baik yang dilakuan oleh suami atau istri keduanya dapat menjadi pemicu
adanya kekerasan dalam rumah tangga yang bentuknya dapat berupa kekerasan
fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik dapat terjadi apabila suami yang
berselingkuh tetapi istri selalu mempersoalkan masalah tersebut, selalu
marah-marah, cemburu. Hal ini dapat memicu emosi suami untuk bertindak kasar
sampai memukul istri., demikian juga jika istri yang selingkuh apabila suami
mengetahui ada yang langsung memukul istrinya ada pula yang tidak langsung
seperti memperingati istrinya kalau menurut larangan suami maka dapat terjadi
percekcokan berujung pada kekerasan fisik terhadap istri. Hal ini juga dapat
terjadi pada anak perempuan, ipar perempuan dan pembantu perempuan yang
berpacaran dengan seseorang yang tidak direstui keluarga, tentunya ia dilarang
berhubungan tapi apabila mereka tidak mengindahkan larangan tersebut, maka
dapat pula berujung pada kekerasan fisik.
Kekerasan psikis ini terjadi apabila suami selingkuh tetapi
istri tidak mau atau tidak mampu untuk mempersoalkan karena alasan takut di
pukul, takut diceraikan atau malu pada keluarga, maka ia memilih untuk
diam atau dengan perasan sakit hati (psikis). Seperti yang dikemukan oleh ibu
Yolanda Ibrahim (wawancara pada tanggal 6 Januari 2012) mengemukan bahwa
suaminya lebih dari 3 tahun terakhir berhubungan dengan seseorang perempuan
yang tidak jelas satusnya apakah telah kawin siri atau belum. Telah membuat
saya menderita batin, merasa tertekan, dilarang banyak keluar rumah tanpa izin
dan selalu dihantui rasa ketakutan kalau saya bertanya saja misalnya dari mana
terlambat pulang suami langsung marah-marah dan merusak barang-barang yang ada
di dekatnya. Suami saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadap saya
karena berusaha menghindari pertengkaran yang dapat berujung pada kekerasan
fisik.
Penelantaran rumah tangga, bentuk kekerasan ini dapat pula
terjadi karena apabila seorang suami mempunyai selingkuhan, biasanya melakukan
hal-hal yang di luar kebiasaannya, seperti mengurangi jatah belanja istrinya,
sering meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan istri. Seperti yang dikemukan
oleh ibu Sita bahwa selama satu tahun suaminya selingkuh dengan seorang
perempuan walau suaminya tidak sampai memukul, tetapi suaminya tidak lagi
memperhatikan saya dan anaknya serta uang belanja, sekarang suami yang mengatur
dan bahkan berkurang. Suami saya sering keluar rumah bahkan sampai bermalam dan
tidak memberitahukan kepada saya seperti biasanya termasuk tidak meninggalkan
uang belanja.
Berdasarkan gambaran yang dikemukan tersebut di atas maka
faktor perselingkuhan sebenarnya banyak mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga.
Faktor Perilaku
Faktor perilaku seseorang dapat menyebabkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga baik pelaku maupun korban. Faktor perilaku disini
adalah kebiasaan buruk yang dimiliki seseorang seperti: gampang marah, pemain
judi, pemabuk, pencemburu, cerewet, egois, kikir dan tidak bergaul dengan
lingkungan. Perilaku yang demikian sebenarnya dapat menjadi penyebab apabila
ada faktor lain yang turut mempengaruhi sehingga seseorang yang berperilaku
tersebut dengan lingkungan.
Bapak Saipul Pantu (wawancara tanggal, 30 Desember
2011) mengaku ia mempunyai perilaku yang buruk yaitu gampang marah, pencemburu
dan suka minum sampai mabuk dan telah dua kali istri saya melapor kepada pihak
yang berwajib karena melakukan kekerasan dan keonaran dalam rumah.
Dalam suatu tindak pidana tentulah terdapat faktor-faktor
penyebab terjadinya tindak pidana tersebut. Hal ini digambarkan dalam peristiwa
pasangan suami isteri yang mempunyai pola hidup dengan penuh kekerasan telah
mempunyai anak, yang paling merasakan dampaknya adalah anak-anak. Memang dampak
secara fisik tidak akan selalu ada akan tetapi dampak secara psikologis itulah
yang paling berbahaya sehingga dimungkinkan anak-anak tersebut ketika besar dan
telah berkeluarga kelak akan melakukan hal yang sama terhadap isteri atau
keluarganya sebagaimana bapak dan ibunya dahulu.
Jabrin Kadir, SH (wawancara, tanggal 15 November 2011)
mengemukakan bahwa perilaku buruk sangat mempengaruhi seseorang dalam bertindak
baik dalam lingkup rumah tangganya maupun dalam pergaulannya di dalam
masyarakat. Mereka yang telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
datang pada lembaga yang dikelolanya untuk meminta perlindungan sekaligus
meminta bimbingan rohani adalah termasuk orang yang mempunyai perilaku yang
kurang baik seperti malas mengurus rumah tangga, tidak taat kepada pelaku, suka
keluar rumah dan tidak taat beribadah.
Beberapa kasus yang terjadi, dimana pelaku maupun korban
pada umumnya mereka yang mempunyai perilaku kurang baik, seperti pemarah,
pencemburu, egois, boros, pemain judi, pemabuk, suka main perempuan dan tidak
atau kurang taat menjalankan ibadah sesuai agama yang dianut dan diyakininya,
dapat menjadi pemicu terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Upaya-Upaya
Yang Dilakukan Untuk Meminimalisir KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami
terhadap isteri telah sedemikian menggaung dalam tahun-tahun belakangan ini
sehingga menjadi masalah sosial yang menuntut perhatian yang serius dari
berbagai pihak.
Setelah melihat kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga
yang semakin marak terjadi di Indonesia khususnya di Kabupaten Pohuwato, maka
hal ini membutuhkan perhatian khusus dari semua kalangan, terkhusus dari kepada
pemerintah. Karena dampak yang di timbulkan dari adanya kekerasan dalam rumah
tangga dapat berakibat fatal terhadap keharmonisan rumah tangga seseorang.
Adapun langkah-langkah yang dapat di lakukan oleh istri
apabila mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut;
Curhatlah
pada orang yang dipercaya
Menceritakan kondisi keluarga pada orang lain, kerabat
dekat, sahabat, atau tetangga yang biasa di percaya pada saat tertentu ini
bukan membuka aib. Namun istri yang mengalami kekerasan pasti mengalami
tekanan, bahkan mungkin depresi dari curhat pada orang yang dipercaya secara
psikologis dapat meringankan beban.
Renungkan saran dan nasihatnya
Curhat berarti membuka kesempatan pada orang yang anda
percaya untuk ikut merasakan, memahami sekaligus intervensi. Artinya, jka sang
teman memberikan saran maupun alternatif, bukalah mata hati renungkan saran dan
nasihatnya. Ambil segi positifnya.
Mintalah suami konseling
Kebiasaan suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga
tertentu perlu diwaspadai. Secara baik-baik mintalah suami konsultasi dengan
pakar dan melakukan terapi, tentu saja harus pandai mencari waktu yang tepat
untuk membiarkannya.
Segera ambil keputusan
Jika suami makin kerap melakukan kekerasan dalam rumah
tangga keluarga atau pakar dan segara ambil keputusan untuk kebaikan istri dan
anak.
Langkah-langkah tersebut di atas pada dasarnya merupakan
upaya bagi seorang istri untuk mencari kebenaran tentang adanya suatu tindak
pidana yang di lakukan oleh suami terhadap istri guna memperoleh perlindungan
dan keadilan.
Untuk itu diperlukan upaya-upaya meminimalisir sejak dini
sebagai bentuk antisipasi terhadap terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah
tangga di Kabupaten Pohuwato.
Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan pelaku kekerasan
dalam rumah tangga tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi
pendekatan sarana penal dan non penal tersebut harus didukung juga dengan
meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan
salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian,
karena selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran
hukum masyarakat saja.
Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari
pihak pemerintah dan aparat penegak hukum. Hal ini perlu ditegaskan karena
pihak yang dianggap paling tabu hukum dan wajib menegakkannya, justru
oknumnyalah yang melanggar hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran hukum yang
masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi “tauladan bagi masyarakat”
dalam mematuhi dan menegakkan hukum.
Kejahatan merupakan produk dari masyarakat, sehingga apabila
kesadaran hukum telah tumbuh dimasyarakat, kemudian ditambah dengan adanya
upaya strategis melalui kolaborasi antara sarana penal dan non penal, maka
dengan sendiri tingkat kriminalitas akan turun, sehingga tujuan akhir politik
kriminal, yaitu upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) akan terwujud.
Kebijakan
penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah ‘politik
kriminal’ dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter
Hoefnagels (Lilik Mulyadi, 2007: 11) upaya penanggulangan kejahatan dapat di
tempuh dengan :
- Penerapan hukum pidana (criminal law application)
- Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
- Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media)
Dengan
demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua,
yaitu lewat jalur ‘penal’ (hukum pidana) dan lewat jalur ‘non
penal’(bukan/diluar hukum pidana).
Dalam
pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas upaya-upaya yang disebut dalam
Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan Mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing
views of society on crime and punishment/mass media) dapat
dimasukkan dalam kelompok upaya non penal (Lilik Mulyadi, 2007:12).
Upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat
represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih
menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan
sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga
dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Mengingat upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat akan pencegahan
untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif
itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan
kejahatan.
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari hasil pembahasan di atas, adalah sebagai berikut:
- Jumlah kekerasan dalam rumah tangga selama tahun 2010 sampai dengan 2011 yang dilaporkan kepada pihak kepolisian Polres Pohuwato menunjukkan 24 kasus. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Pohuwato adalah sebagai berikut : Faktor ekonomi, faktor perselingkuhan, dan faktor perilaku.
- Bahwa hal-hal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yaitu lewat jalur ‘penal’ (hukum pidana) dan lewat jalur ‘non penal’ (bukan/diluar hukum pidana). Upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Pohuwato merupakan tanggung jawab bersama oleh pihak kepolisian, pemerintah dan masyarakat yaitu upaya yang bersifat preventif dan upaya represif.
REFERENSI
·
Kitab
undang-undang Hukum Pidana(KUHP) R.SOESILO
·
Tindak
Pidana Kekersan dalam rumah tangga (KDRT)
BURHANUDDIN, S.H., M.H.
·
nurul hadi on Putusnya Perkawinan Akibat Cerai
Talak Dalam Prespektif Hukum Islam Dan Hukum Positif
agus pramono on Pengertian Perjanjian Internasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar