Jinayah Siyasah Angkatan 2011

Foto saya
Medan, Sumatera Utara, Indonesia
Terbentuknya sarjana Ilmu syari’ah (sarjana hukum Islam) yang bertakwa kepada Allah SWT memiliki keahlian di bidang ketatanegaraan dan pidana Islam, sebagai praktisi dalam bidang hukum dan ketatanegaraan, dan meggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah ketatanegaraan dan pidana Islam dengan bijaksana berdasarkan prinsip hukum.

Jumat, 07 Desember 2012

KRIMINALISASI “PENCUCIAN UANG” DALAM KONSTELASI HUKUM PIDANA


KATA PENGANTAR

Bismilahirrohmanirrohim, Alhamdulillah Puji syukur saya ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelasaikan tugas makalah Hukum Pidana  ini yang berjudul KRIMINALISASI “PENCUCIAN UANG” DALAM KOSTELASI HUKUM PIDANA tepat pada waktunya.
            Terima kasih saya ucapkan kepada dosen mata kulliah ini selaku pembimbing yang telah mendukung atas terselesaikannya makalah ini. Dan terima kasih kepada teman- teman juga yang telah memberikan dukungan dan masukan yang membangun sehingga tugas ini dapat selesai tepat pada waktunya. Dan makalah ini saya susun berdasarkan  sumber- sumber yang ada.
            Saya juga percaya bahwa ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang menbangun dari pembaca guna perbaikan makalah- makalah selanjutnya. Dan saya berharap semoga tugas ini dapat bermampaat bagi semua yang membacanya.



                                                                                    Medan 09 November 2012

ADINA MUKTAR HUSEIN LUBIS
                                                                                    Pemakalah

                                                                                                                                                                                                                       






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR……………………………………………………………...                        i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………......                        ii
BAB. I PENDAHULUAN ……… ………………………………………………...                       1
A.    Latar Belakang…………………………………………………………..            1
B.     Rumusan Masalah………………………………………………………             1
C.     Tujuan Masalah…………………………………………………………             1
BAB. II PEMBAHASAN………………………………………………………….            2
A.    Pencucian Uang Dalam Konstelasi Hukum Pidana……………………..            2
B.     Kriminalisasi Pencucian Uang………………………………………….             5
C.     Mengantisifasi Perkembangan Kejahatan Pencucian Uang……………..            8
D.    Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang  di Indonesia…………….             14
E.     Hukum Pencucian Uang di Indonesia…………………………………..                        16
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………..                        17
KESIMPULAN……………………………………………………………………              17
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………                        18







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                        Kejahatan yang terkait dengan masalah “ pencucian uang” (money laundering) selama ini belum tersentuh oleh kebijakan politik hukum pidana dalam upaya untuk menanggulangi meningkatnya kasus pelanggaran hukum tersebut. Kejahatan ini dianggap “baru” dan sesungguhnya termasuk “extraordinary crime” atau  “kejahatan luar biasa” bahkan serious crime (kejahatan serius) karena memiliki modus operandi yang berbeda dan berbahaya dari kejahatan konvensional yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Kejahatan ini menyangkut pelanggaran dibidang ekonomi dengan memamfaatkan jasa perbankan. Aparat penegak hukumpun tidak dapat menindak para pelakunya disebabkan perundang-undangan pidana belum mengatur sebagai suatu jenis kejahatan dibidang ekonomi yang merugikan keuangan negara  dan masyarakat.
                        Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengenal pencucian uang sebagai satu kejahatan yang dapat di pidana. Hal ini dapat dipahami, karena perbuatan tersebut tidak termasuk kedalam konstelasi hukum dan perundang-undangan pidana khusus sehingga masyarakat kurang memahami makna kejahatan yang sesungguhnya sebagai “the process of money laundering conduct”. Persepsi masyarakat akhirnya menganggap bahwa money loundering bukan suatu bentuk kejahatan di bidang ekonomi yang sangat berbahaya dan dapat dipidana  dalam aturan hukum nasional.
B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.      Pencucian Uang dalam kontelasi hukum pidana.
2.      Kriminalisasi pencucian uang.
3.      Mengantisipasi perkembangan kejahatan pencucian uang.
4.      Penanggulangan kejahatan pencucian uang di Indonesia
5.      Hukum pencucian uang di indonesia
C.    Tujuan Penyusun
            Tujuan penyusunan makalah ini adalah agar kita mengetahui makna kejahatan pencucian uang dalam konstelasi hukum pidana Indonesia.
                                                                                                                                                          
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pencucian Uang dalam Konstelasi Hukum Pidana
             Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penanggulangan kejahatan pencucian uang sering pula mengakami ketinggalan, karena pesatnya perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Peraktik pencucian uang tidak dipengaruhi lingkungan (milieu), akan tetapi sebaliknya ia dapat “menilai” terhadap situasi dan lingkungan  sekitarnya karena para pelaku dipandang dengan mudah mempolitisasi makna kejahatan ekonomi dengan cara menggunakan dan memanfaatkan kecanggihan lalu lintas perbankan modern di dalam maupun luar negeri. Para pelaku kejahatan ini justru berasal dari orang-orang kaya secara ekonomis atau berpunya (the have/upper class) dan bukan golongan warga masyarakat miskin atau tidak berpunya (the heve not/lower class) sehingga jenis kejahatan ini dianggap “the problem of the white cillar crime” dari bentuk “serious crime” di bidang ekonomi.[1]
Upaya antisipasi atau penanggulangan kejahatan pencucian uang cukup sulit yang membutuhkan kepiawaian dan keseriusan aparat penegak hukum untuk membongkar jenis kejahatan baru ini melalui kerjasama  erat dengan lembaga otoritas keuangan  dan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan  (PPATK).  Kehadiran UU No.15 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No.25 Tahun 2003dalam tatanan hukum pidana nasional diharapkan tidak menghilangkan opsesi masyarakat  guna terwujudnya keamana  usaha dalam kegiatan/persaingan bisnis yang sehat, setabilitas moneter dan pemulihan ekonomi nasional mengingat adanya pandangan  pesimis bahwa kinerja penegak hukum selama ini belum cukup optimal dalam menanggulangi setiap bentuk kejahatan di bidang ekonomi, khususnya kejahatan perbankan ditanah air.
   Pada penjelasan pasal 1 UU No.15 tahun 2002 yang dimaksud pencucian uang adalah upaya menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dari harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagai mana dimaksud undang-undang ini. Untuk itu, pasal 3 ayat (1) menetapkan bahwa perbuatan tindak pidana pencucian uang adalah setiap orang dengan sengaja (a)  menempatkan harta kekayaan, (b) mentransfer harta kekayaan, (c) membayarkan/menyumbangkan harta kekayaan, (d) menghibahkan/menyumbangkan harta kekayaan, (e) menitipkan harta kekayaan, (f) membawa keluar negeri harta kekayaan, (g) menukarkan harta kekayaan, (h) menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan diketahui atau patut diduga adalah hasil tindak pidana.[2]
Kemudian dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003 ditegaskan bahwa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagai pencucian uang berupa : korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang perpajakan, bidang kehutanan, bidang lingkungan hidup, bidang kelautan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Dalam praktik pencucian uang di Indonesia tidak menampakkan kegiatan yang jelas  atau trasparan sebagaimna halnya dalam kejahatan biasa (ordinary crime) seperti pencurian, perkosaan atau pembunuhan. Akan tetapi, gejala peningkatannya dapat dirasakan oleh pihak bank Indonesia atau suatu bank dengan masuknya uang dalam jumlah besar tanpa diketahui siapa pemilik yang sesungguhnya. Pencucian uang hasil kejahatan perlu ditanggulangi karena dapat merusak stabilitas ekonomi dan mentalitas pejabat. Menurut Bambang Setijopradjo, dampak kejahatan  pencurian uang terasa dalam tiga hal, yaitu (1) terciptanya persaingan yang tidak sehat  ekonomi nasional. Keadaan demikian dapat dipahami  mengingat kejahatan pencucian uang menurut Mardjono Reksodiputro[3] memiliki kekhususan diantara tindak pidana dibidang ekonomi lainnya yakni :
Pertama, kejahatan ini merupakan peroses kejahatan lain, yakni dana diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi, penyuapan, penyeludupan, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan wanita dan anak, perjudian dan terorisme.                                 Kedua, cara “menyembunyikan atau menyamarkan” dana hasil kejahatan tersebut melalui bank dan lembaga keuangan non bank.
 Ketiga, pelaku kejahatan ini kemungkinan besar akan beroperasi dalam situasi “multi jurusductional” seperti internet dan banyak kasus mempunyai bantuan pada lembaga keuangan  dan/perusahaan yang digunakan.
 Keempat, pola pembangunan dengan ketergantungan pada  dana (investasi) luar negeri) utang luar negeri menyebabkan setiap pemerintah Negara berkembang seperti Indonesia  harus mengondisikan agar dana investasi asing dapat dengan mudah masuk kedalam negeri dengan mengurangi hambatan atau kendala transfer dana.
            Sifat kekhususan kejahatan pencucian uang di atas dalam kontelasi hukum pidana harus mampu segera diantisipasi dengan upaya penegakan hukum  dengan kuatnya political will dan professional competenci dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam rangka menanggulangi meningkatnya kejahatan  tersebut. Perinsip kehati-hatian perbankan atas penyimpangan uang dari pengusaha perlu ditingkatkan. Kejahatan ini akan sulit ditanggulangi pada masa depan bangsa dan Negara yang membutuhkan stabilitas ekonomi, keamanan investasi dan bisnis, baik bagi pelaku usaha di dalam maupun luar negeri. Para pelaku kejahatan  pencucian uang adalah pejabat yang pintar dan cerdik memampaatkan kelemahan perbankan nasional.[4]                                                                                                      Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) dan Pasal 3 ayat (1)a :   “Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan, yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini” . dan “ Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain”.           Kelahiran UU No. 15 Tahun 2002 diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 dalam kontelasi hukum pidana merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kejahatan ekonomi. Tindakan menerbitkan undang-undang pencucian uang meskipun sedikit agak terlambat, namun dalam hukum pidana sebagai ultimum remedium atau alat/sarana pamunkas dengan ancaman sanksi pidana yang dapat dijatuhkan hakim kepada para pelaku karena mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga para pelaku kejahatan ini tidak mudah lolos  dari pertanggungjawaban pidana.
B.     Keriminalisasi Pencucian Uang
Pencucian uang merupakan suatu peroses atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang penjahat atau kejahatan terorganisasi (organizet crime) dengan menggunakan jasa perbankan terhadap uang yang berasal dari tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan asal usul uang tersebut dari perhatian pemerintah dan lembaga keuangan yang berwenang ataupun penyidikan oleh penegak hukum untuk melakukan penindakan terhadap kejahatan dimaksud dengan cara memasukkan uang itu kedalam sistem keuangan yang resmi, sehingga “uang haram” tersebut, apabila dikemudian hari dikeluarkan dari sistem keuangan akhirnya menjadi uang yang sah atau legal.
Harta kekayaan berupa uang yang dimiliki sebagai hasil kejahatan pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut.[5]                                                                                         Keterlibatan peerbankan  dalam kegiatan/kejahatan pencucian uang dapat berupa (a) penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposid box; (b) penyimpanan uang dalam bentuk defosito/tabungan/giro; (c) penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal; (d) pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan; (e) penggunaan pasilitas transfer; (f) pemalsuan dokumen letter of credit bekerjasama dengan oknum-oknum pejabat  bank terkait; dan (g) pendirian/pemamfaatan bank gelap. Disamping itu, karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan cash flow keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan, maka penggunaan lembaga perbankan merupakan sarana yang sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-asal sumber dana.
Perbuatan pencucian uang di Indonesia sekarang ini telah dinyatakan sebagai kejahtan ekonomi dengan awal terbit UU No. 15 Tahun 2002 sebagai ius cinstitutum sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan sanksi pidana. Penetapan demikian berarti pencucian uang sebagai satu perbuatan kriminalisasi, yakni proses penetapan suatu perbuatan orang atau sekelompok sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu di ancam dengan suatu sanksi berupa pidana. [6]Adanya penetapan undang-undang pidana merupakan tindak reformasi hukum yang harus mengacu kepada kebijakan hukum pidana (penal policy), yakni usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana.[7] Penggunaan sarana hukum pidana ini adalah untuk menangkal dan menindak setiap perbuatan oleh pihak-pihak yang ingin melanggar hukum dapat merugikan kehidupan masyarakat dan Negara dibidang ekonomi.
Apabila tidak dapat dipidananya perbuatan pencucian uang oleh penegak hukum menyebabkan penegak hukum pada masa lalu dalam kondisi vakum hukum atau bisa dikatakan dalam kondisi yang anarkis untuk adanya kepastian hukum pada suatu Negara. Kondisi “anarkis” dalam perilaku hukum sebagaimana dikataakan  oleh Donald Black, yakni “apa bila tidak ada pengendalian sosial yang baik oleh oemerintah atau penegak hukum memudahkan timbul sikap anrkis atau merusak tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dari pihak tertentu yang kesadaran hukumnya masih rendah.
Bertolak dari model di atas, maka penyelesaian kasus – kasus praktik money laundering mencapai titik danir yang paling rendah ( the lowest elgal quality contron ), karena peraturan perundang undangan pidana yang akan mengatur masalah kejahatan tersebut tidak ada ada sama sekali. Kalaupun ada perundang undangan pidana selalu terjadi kemandulan dalam penegakan hukumnya. Dengan kata lain, hukum tidak dapat turut serta secara optimal melakukan pengendalian atau pemidanaan terhadap “ sepak terjang “ para pelaku praktik money laundering sebagai whit collar crime yang mempunyai kemampuan untuk meloloskan diri dengan berbagai cara.
Kondisi seperti bertambah parah, mana kala para aparat penegak hukum tidak mampu dan tidak menjalankan tugas dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab sebagaimana di ilustrasikan oleh William J. C hambliss dan Robert B. Seitmen mengenai sebuah kota bernama Wincanton di Amerika Serikat mengalami kekacauan, karena banyak aparat penegak hukum yang korup dan berkolusi dengan pelaku kejahatan ekonomi tersebut. Prilaku aparat penegak hukum yang korup menyebabkan pelaku kejahatan lolos dari hukuman.
Umumnya mereka yang melakukan kejahatan ini adalah penjahat kelas kakap, The have men, the white collar criminal atau sindikat kejahatan yang mempunyai kekuatan politis, ekonomis, dan yuridis dalam membela kepentingannya. Uang yang dikumpulkan di peroleh dari usaha yang bersifat ilegal. Kejahatan yang dilakukan adalah dalam bentuk tindak pidana korupsi, suap, narkoba, penyeludupan, judi, prostitusi dan sebagainya. Apabila aparat penegak hukum tidak menyadarkan diri dan memahami tanggung jawab dalam penegakan hukum mudah terperangkap dalam permainan penjahat tersebut yang dapat merugikan kepentingan ekonomi sernua pihak.
Kehadiran UU No 15 Tahun 2002 di ubah dengan UU No 25 Tahun 2003 merupakan langkah maju untuk menanggulangi ( mencegah dan menindak ) kejahatan dibidang ekonomi khususnya perbankan karena adanya landasan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat bagi setiap warga Negara. Selain itu isu – isu pencucian uang menjadi masalah penting karena dimasukkannya Indonesia dalam daftar NCCTs berdampak kurang menguntungkan perekonomian nasional mengingat seluruh teran saksi perbankan yang berasal dari bank – bank di Indonesia dianggap teransaksi mencurigakan ( suspicious transaction ) berakibat pemerintah dari Negara – Negara anggota FATF akan memintak bank-bank menetapkan persyaratan yang lebih berat atau mahal jika melakukan teransaksi dengan bank-bank di Indonesia karena dianggap beresiko tinggi.
Pencucian uang sebagai masalah penegakan hukum fidana dapat ditanggulangi dengan menggunakan sanksi fidana yang jelas dan tegas sebagai suatu kebijakan hukum pemerintah dibidang moneter. Disamping itu, keberadaan pengaturan pencucian uang dalam perundang undangan fidana akan meningkatkan citra dan kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia dimata dunia Internasional setelah ambruknya fondasi pembangunan nasional yang sangat rapuh akibat krisis ekonomi yang hingga saat ini belum mampu untuk ditanggulangi dengan baik oleh pemerintah.

C.    Mengantisifasi Perkembangan Kejahatan Pencucian Uang
Kejahatan selalu di kaji orang atau fakar hukum fidana dengan memperhatikan factor penyebab berkembangnya kejahatan tersebut. Sebagai pradigma setudi kejahatan, dalam tataran aliran positivipistik yang muncul pada abad ke – 19, setudi kejahatan ditekankan pada pemahaman tentang prilaku manusia sebagai penjahat daripada krakteristik, asal mulu hukum dan dampaknya. Keadaan ini berlangsung sampai pada pertengahan abad ke – 20. Pada tahun 1960-an, pakar kriminologi mulai mempersoalkan kembali hubungan antara hukum dan masyarakat. Sekalipun perhatian utama tetap pada manusia sebagai pelaku kejahatan, akan tetapi banyak pakar terminology mengakui bahwa peranan hukum sangat penting menentukan sikap dan karakteristik kejahatan dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai suatu peradigma study kejahatan, positifistik ilmu hukm fidana dalam perkembangan kriminologi menekankan pada tarap determinisme, yakni tingkah laku seseorang adalah disebabkan hasil hubungan erat antara sebab akibat antara individu yang bersangkutan dengan keadaan lingkungan disekitarnya.[8] Kondisi semacam ini sangat penting diketahui sebagai strategi dan upaya penanggulangan kejahatan, termasuk kejahatan dibidang ekonomi seperti pencucian uang.
Kegiatan pencucian uang oleh para pelaku biasanya dilakukan secara bertahap. Sekurangnya ada tiga tahap yang bisa ditempuh pada para pemilik “ uang haram “ ketika hendak mencuci / membersihkan uang tersebut. Adpun tahap-tahap itu menurut Jane E. Hughes dan Scott B. Macdonald adalah sebagai berikut.
            Pertama, the placement atau upaya menempatkan atau memasukkan dana atau investasi keuangan lainnnya yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan pada sistem keuangan, yakni mengubah dari uang tunai yang diperoleh secara tidak sah ke dalam berbagai aset seperti deposito bank, real estate, saham-saham perusahaan atau juga mengonversikan kedalam mata uang lainnya ataupun ditukarkan kedalam valuta asing. Sebagai contoh pemilik uang haram mendepositkan secara tunai ke sebuah bank. Sekali uang tersebut telah ditempatkan pada suatu bank, maka uang itu masuk dalam sistem perbankan ( Negara ). Uang tersebut selanjutnya dapat dipindahkan ke bank lain, baik dinegara tersebut maupun kenegara lain, maka uang tadi bukan saja masuk kedalam sistem perbankan gelobal atau internasional.
            Kedua, the layering adalah memindah-mindahkan hasil kejahatan  dari suatu tempat ketempat lain dengan masuk sumber dan pemiliknya dapat dikaburkan atau transper uang dengan membuat teransaksi-teransaksi finansial yang kompleks dan berlapis-lapis serta berangkai dilindungi berbagai bentuk anonimitas dan kerahasian professional. Pekerjaan pencuci uang belum berakhir setelah ditempatkan uang tersebut kedalam sistem perbankan dengan melakukan placement. Uang haram berjumlah sangat besar yang ditempatkan di suatu bank, tetapi tidak dapat dijelaskan asal usulnya akan menarik perhatian otoritas moneter Negara yang bersangkutan yang pada gilirannya akan menarik pula perhatian para penegak hukum.
            Ketiga, the integration atau menggunakan harta kekayaan, yakni tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang asal kejahatan. Pihak pencuci uang mempergunakan uang yang telah menjadi halal diinvestasikan untuk setiap bisnis ilegal sehingga tidak tampak berkaitan dengan aktivitas kejahatan yang dilakukan sebelumnya. Pada hal, uang tersebut menjadi sumber dari uang yang dicuci atau untuk membiayai kegiatan operasional kejahatan dari para penjahat dan organisasi kejahatan yang mengendalikan kejahatan tersebut. Pada tahap ini, uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi sejalan dengan aturan hukum.
            Menurut Sutan Remy Sjahdeni, ada tujuh factor yang mendorong maraknya pencucian uang pada suatu Negara
            Pertama, pelaksanaan kerahasian bank yang sangat ketat diberbagai Negara, khususnya Negara-negara di Eropa antara lain Swiss, Austria, Luxembug, dan lain-lain. Ketatnya kerahasian bank sangat sulit untuk mengetahui keberadaan, asal usul, dan sumber uang tunai yang akan atau telah ditempatkan seseorang kedalam suatu bank.
            Kedua,  dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan di Negara– negara tertentu bagi seseoarang untuk menyimpan uang disuatu bank dilakukan dengan menggunakan nama samaran ataupun tanpa nama ( hanonim ). Contohnya adalah Austria. Negara ini ditengarai sebagai salah satu Negara yang akhir-akhir ini dijadikan sebagai pangkalan untuk kegiatan pencucian uang dari para koruptor dari Negara-negara berkembang dan organisasi-organisasi yang bergerak dalam perdagangan narkotika dan obat-obatan dengan memperbolehkan seseorang atau suatu organisasi membuka suatu bank di Austria secara anonim.
            Ketiga, ketidak seriusan pemerintah / Negara tetentu untuk mau bersungguh-sungguh memberantas praktik pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan Negara tersebut. Pemerintah terkait memang dengan sengaja membiarkan praktik pencucian uang berlangsung aman di negara tersebut, karena Negara tadi memperoleh keuntungan dari penempatan “ uang haram “ diperbankan Negara itu. Keuntungan yang diperoleh dengan terkumpul dana diperbankan Negara tersebut sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan dan memungkinkan Negara perbankan memperoleh banyak ke untungan dari penyaluran dana itu serta selanjutnya akan memberikan konstribusi berupa pajak besar kepada Negara .
            Keempat,  munculnya jenis uang baru yang disebut dengan “ electronic money “  ( e-money ), yaitu sehubungan dengan maraknya electronic commerce. Para pemilik uang dapat menggunakan uang jenis ini dengan relative lebih mudah untuk mencegah para penegak hukum untuk memproleh informasi mengenai transaksi yang telah dilakukan. Ketidak mampuan para penegak hukum untuk mengerti gaya uang baru jenis ini dapat menimbulkan dampak yang dangat serius terhadap pencegahan, penyelidikan dan penuntutan kejahatan yang terjadi bersamanya.
             Kelima,  dimungkinkan praktik pencuciaan uang dilakukan dengan cara pelapisan. Pihak yang menyimpan uang di bank bukan pemilik yang sesungguhnya dari uang tersebut. Deposan tersebut hanya bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugaskannya mendepositkan “ uang haram itu pada suatu bank “.penyimpanan dana juga tidak mengetahui siapa pemilik sesungguhnya dana tesebut karena hanya mendapat amanah dari kuasa pemilik.
            Keenam, berlakunya ketentuan hukum berkenaan denga kerahasian hubungan professional antara klien dan konsultan hukum. Dana simpanan klien di bank-bank sering kali diatas namakan suatu kantor pengacara. Kerahasian antara klien dan  lawyer biasanya dilindungi oleh undang-undang para lawyer yang minyimpan dana simpanan di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksakan oleh otoritas moneter yang berwenang untuk mengungkapkan identitas dari kliennya kepada publik.
            Ketujuh,  belum adanya undang-undang mengenai pencuccian uang. Tidak adanya undang-undang pencucian uang disebabkan keengganan pembentukannya oleh penguasa atau pemerintah Negara yang korop atau ingin memperoleh keuntungan dari pada nasabah, sehingga Negara tersebut tidak mau bersungguh-sungguh ikut memberantas praktik pencucian uang dinegara bersangkutan.
            Indonesia selama ini dianggap sebagai salah satu Negara yang paling cocok atau aman berkembangnya kejahatan pencucian uang. Ada dua factor yang menciptaka kondisi kondusif demikian bagi kegiatan pencucian uang dinegeri ini menurut Rijanto Sosroatmodjo,[9] yakni:
1.      Dianutnya sistem defisa bebas dengan tingkat kebebasan yang sangat tinggi sehingga memungkinkan setiap pihak melakukan transaaksi seacara leluasa hamper tanpa batas. Selainitu, tidak ada keharusan menerangkan asal usul dari devisa yang masuk atau keluar.
2.      Berlakunya ketentuan mengenai kerahasian bank dalam UU Perbankan. Aturan tersebut membuka peluang yang menguntungkan bagi kmeungkinan masuknya “uang haram” ketanah air.
Sejak 1987 Indonesia menganut dan mempertahankan kebijakan sistem nilai tukar mengambang terkendali (manged floating exchange rate). Ditetapkanya kebijakan ini, maka Indonesia memasuki era komitmen jangka panjang kepada dunia internasional bahwa tidak ada pembatasan atau resriksi dalam lalu lintas pembayaran maupun lalu lintas devisa.
Komitmen tersebut membawa implikasi cukup luas dalam sistem devisa nasoinal, yaitu antara lain dengan diterapkannya bank-bank defisa yang boleh melakukan pengelolaan dan transaksi devisa, baik untuk impor maupun ekspor.
Demikian pula transaksi modal, termasuk transfer modal, keuntungan, deviden dan bunga dinyatakan bebas dari kontrol devisa. Dianutnya sistem ini, otoritas moneter di Indonesia tidak mempunyai kendali atau alat deteksi yang ampuh untuk memonitor,  mencatat atau mengikuti perkembangan lalulintas modal, dan/atau semua transaksi palas (paluta saing), terutama yang berada diluar sistem perbankan atau lembaga keuangan. Sejak lama dipersoalkan besarnya jumlah simpanan valas (dana legal dan illegal) dari warga Negara Indonesia di bank-bank luar negeri, terutama Singapura, Hongkong dan Swiss yang memamfaatkan peluang disediakan oleh sistem devisa bebas tersebut. Apa bila diikuti keriteria tentang money loudring, maka dapat diperkirakan banyak dana yang tersimpan di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan, baik di Indonesia maupun diluar negeri termasuk kategori “uang haram”. Berbagai bentuk dana yang berasal dari kegiatan atau transaksi menyimpang (deviant activity), seperti korupsi, suap, pungli (pungutan liar), mark up (penggelembungan dana), penghindaran pajak, penyelundupan, penyamaran hasil kejahatan serta berbagai bentuk kegiatan menyimpang lainnya seperti digambarkankan diatas merupakan peristiwa pwlanggaran hukum yang sudah lama berkembang dengan subur dan banyak terjadi di Indonesia saat ini.
Untuk mengantisipasi maraknya pencucian uang pada masa depan di tanah air perlu dilakukan tindakan proaktif antara penegak hukum bekerja sama dengan otoritas lembaga keuanag dan PPATK. Upaya pencegahan maraknya kejahatan pencucian uang dapat dilakukan dengan tiga langkah :
Pertama, perbankan harus mengenal data lengkap nasabahnya (know your customer). Prinsip mengenal nasabah harus dipegang kuat pihak perbnakan dengan mengetahui betul siapa nasabahnya, apakah ia orang baik-baik atau orang yang jahat? Apabila ada indikasi kuat bahwa nasabah adalah orang jahat, awasi gerak gerik dan segenap pembukuan keuanagan dengan ketat. Prinsip ini membebankan tanggung jawap hukum sampai batas tertentu pada pihak perbankan dalam ikut mencegah kejahatan pencucian uanag.
Kedua, adanya kecurigaan dan laforan aktivitas nasabah. Pihak perbankan memiliki kecurigaan tertentu terhadap data nasabahnya, yakni apa bila ada transaksi besar yang tidak wajar, atau transfer uang yang terjadi dalam jumlah besar, atau transaksi lain dimana terdapat petunjuk mencurigakan yang terkenal dengan petunjuk “bendera merah”, antara lain adalah data nasabah diragukan kebenarannya, adanya transaksi (tunai atau melalui transfer uang) yang tidak sejalan denagn kegiatan/usaha nasabah, transfer dana dari dan luar negeri yang menyimpang dari kebiasaan, permintaan kredit dengan jaminan yang tidak lazim, misalnya jaminan tersebut dalam bentuk tunai. Jika kecurigaan kuat ini terjadi, pihak bank harus melapor kepejabat yang berwenang untuk dilakukan penyidikan oleh PPATK.
Ketiga, ancaman sanksi pidana yang keras di terapkan oleh penegak hukum. Pencucian uang merupakan tinadak pidana sebagai perbuatan yang melanggar hukum sehingga banyak negara yang mengancan pelakunya denga sanksi pidana berat. Di Amerika Serikat, contohnya dalam money loundering contoil act 1986, para pelaku diancan denga sanksi pidan penjara sealama 10 samapai 20 Tahun yang tergantung dari jenis kegiatan pencucian uang yang dilakukan. Sebaliknya di Indonesia, UU No. 15 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 menekankan pada sanksi pidana denda, sedangkan sanksi pidana penjara hanya diancam maksimum selam 3 Tahun (Pasal 10). Penerapan sanksi pidana yang keras terhadap pelaku setidaknya mengurangi aksi pencucian uang hasil kejahatannya.
Namun, penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang sering menghadapi kendala pada upaya penegakan hukum. Kendala atau halangan dalam upaya  penanggulang kejahatan pencucian uang terdapat ketenyuang mengenai : kerahasian bank yang terdapat dalam UU perbankan, bidang perpajakn yang melarang pengusutan asal usul defosito berjangka untuk kepentingan pajak, bidak eksfor dan imfor serta lalu lintas devisa yang menganut asas kebebasan devisa, keimigrasian yang membebaskan setiap orang untuk membawa uang kedalam wilayah Indonesia, dan kerahasiaan antara klien dengan konsultan hukum.
Apabila sikaf hukum atau politik kiriminal Indonesia tidak ingin menerima atau tidak melegalkan “ uang haram “ atau uang yang diperoleh dari hasil kejahatan, maka ketenruan diatas perlu segera si sesuaikan dalam arti luas, yakni untuk berlaku dan tercapainya sasaran dari pembentukan UU No.15 Tahun 2002 yang telah di ubah dengan UU No 25 Tahun 2003. Artinya, semua kendala dalam penerapan dan penegakan hukum harus segera di singkirkan dari aspek non hukum. Semua ini berangkat dari upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pencucian uang akan dapat berjalan efektif dengan memberlakukan hukum positif yang disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan stndar Internasional.[10]
Kerahasiaan perbankan dalam melindungi dana nasabah yang disimpan suatu bank sebagaimana dinyatakan pada pasal 40 / 45 UU No. 10 Tahun 1998 merupakan aspek yang “ menguntungkan “ bagi kemungkinan masuknya “ uanga haram “ dari luar negeri  ketanah air oleh pelaku kejahatn ini sehingga perlu dilakukan upaya peneroposan rahasia bank. Kalau sejak awal ada imformasi oleh aparat penegak hukum dari petugas perbankan bahwa uang tersebut berasal dari kejahatan suatu Negara, maka untuk keperluan penyelidikan dan penyidikan dapat dimintakan izin menteri ke uangan / jaksa agung / ketua mahkamah agung. Namun sepanjang imformasi tersebut tidak ada dan kemungkinan uang yang berasal dari kegiatan bisnis gelap dari organisasi kejahatan, seperti perdagangan narkotika, yang sulit dideteksi keberadaannya oleh aparat penegak hukum, maka jenis “ uang haram “ ini dengan mudah masuk ke Indonesia melelaui jalur perbankan nasional perbuatan ini jika tidak disadari, akhirnya dapat merusak setabilitas ekonomi nasional dengan meningkatnya kejahatan pencucian uang.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang komunikasi telah menyebabkan pula terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antar Negara yang dapat dilakukan dalam waktu sangat singkat. Keadan ini disamping memiliki dampak positif, juga membawa dampak negative bagi kehidupan masyarakat, yaitu semakin meningkatnya tindak pidana yang bersekala nasional dan internasional dengan memamfaatka sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dan hasil dari tindak pidana pencucian uang tesebut.
Pemberlakuan UU No. 15 Tahun 2002 diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 sebagai ius constitutum dan ius constituendum telah memenuhi stndar internasional dan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang mudah berjalan secara efektif. Artinya,  penegakan hukum tindak pidana pencucian uang telah memiliki dasar hukum yang kuat.

D.    Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang di Indonesia
Kejahatan pencucian uang adalah bersifat internasional, maka diperlukan suatu standart pengaturan dan persepsi yang sama dan bersifat internasional pula untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan. Dengan demikian, dalam melakukan kriminalisasi ditentukan terlebih dahulu bentuk model Law on Money Laundering mana yang akan dianut di Indonesia, yang tentu saja disesuaikan dengan sistem hukum serta kondisi keseluruhan yang ada pada Indonesia. Dengan awal pengaturan anti pencucian uang di Indonesia yang banyak kelemahan, maka dalam amandemen pertama definisi yang sebelumnya tidak dicantumkan, maka dicantumkan dalam Pasal 1angka (1) UU No. 25 Tahun 2003 yang isinya sebagai berikut :  Pencucian uang adalah menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau manyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.                                                        
Unsur obyektif (actus reus) dari pasal 3 tersebut sangat luas dan karena merupakan inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan , mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan , mebawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan. Sedangkan unsur subyektifnya (mens rea) yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut diduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Pasal 6 :
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai :
a. Penempatan;
b. Pentransferan;
c. Pembayaran;
d. Hibah;
e. Sumbangan;
f. Penitipan;
g. Penukaran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.
Unsur obyektif Pasal 6 tersebut adalah menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Sedangkan unsur subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut diduga bahwa harta kekayaan yang didapat merupakan hasil tindak pidana.[11]






E.Hukum Pencucian Uang di Indonesia
DiIndonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:
Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.                                                                                                


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Maka dapat saya simpulkan bahwa Kejahatan pencucian uang telah dinyatakan sebagai perbutan kriminisasi yang dapat diancam dengan sanksi pidana UU No. 15 Tahun 2002. Kehadiran undang-undang ini diharapakan dapat membuka cakra wala baru bagi penegakan hukum ekonomi, khususnya hukum perbankan yang mampu untuk menanggulangi setiap kasus kejahatan pencucian uang dengan baik. Kesiapan aparat penegak hukum sangat dibutuhkan untuk mengantisifasi dan menanggulangi upaya orang atau organisasi kejahatan dalam rangka menjalankan kegiatan illegal mencuci uang di negeri ini.
            Penanggulangan kejahatan pencucian uang sebagai salah satu bentuk kejahatan dibidang ekonomi mempunyai makna siknifikan bagi perkembangan ekonomi, khususnya dan pembangunan umumnya, karena kejahatan ini dapat merusak stabilitas ekonomi bangsa dan Negara  sehingga perlu tekat bulat meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman kejahatan ini. Adanya  political will  dari pemerintah dan professional competency  dari penegak hukum dan pembentukan PPATK sebagai amanah UU No. 15 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No. 25 Tahun  2003 diharapkan dapat mengurangi meningkatnya kasus-kasus kejahatan pencucian uang.  Semua kejahatan ini senantiasa mengancam nrgara-negara berkembang dengan oknum pejabat atau mantan pejabat yang korup dan organisasi krjahatan memiliki harta kekayaan yang diproleh secara illegal dengan berbagai cara berusaha untuk mencuci uang hasil kejahatnnya.






DAPTAR PUSTAKA
Atmasasmita,Romli,Kapita Selekta kriminologi, Bandung: eresco, 1992.
Fuady,Munir, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Cetakan Pertama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Fuady, Munir, Hukum Perbankan Moderen, Buku Kedua (Tingkat Advance), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983.
Arief, Barda Nawawi, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau Dari Kebijakan Formulasi Hukum Pidana, Aspehupiki-FH Ubaya, Pasuruan, 2002.
Luthan Salman, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Reformasi Hukum pidana, FH UII, Yogyakarta,1999.
Peksodiputro mardjono, Money Loundering, Aspehupiki-FH Ubaya, pasuruan,2002.
Sastroatmodjo Rijanto, Dirty Money dan Devisa Bevisa Bebas, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 1998.
Setijopradjo Bambang, Money Loundering : Pandanagn Dalam Rangka Pengaturannya, YPHB, Jakarta, 1998
Sulistia, Teguh, Aria Zurnetti dan Diana Arma, Kriminalisasi Pencucian uang UU No. 15 Tahun 2002 Dalam Pembaharuan hukum Pidana, andalas, Unan, Padang, 2003.
Sjahdeni Sutan remy, Money Loundering, YPHB, Jakarta, 2000.


[1] Sjahdeni,sutanremy, money laundering,jurnala Hukum Bisnis, YPHB,Jakarta,2000,h. 12
[2] Bambang Setiiopradjo, Money Laundring: pandangan Dalam Rangka Pengaturan Hukum Bisnis, YPHB,Jakarta,1998, h.7
[3] Mardjono Reksodiputro, Money Laundering : Bank Secrecy Act, Drugs, Hukum Fidana dan Kiriminologi , Aspehupiki – FH Ubaya, Pasuruan,2002 h.2-3
[4] Barda Nawawi Arief,RUU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Tinjau dari Kebijakan Formulasi Hukum Pidana,Aspehupiki-FH Ubaya, Pauruan 2002,h.1-2
[5] Tegu Sulistia,Aria Zurnetti Dan Diana Arma, Kriminalisasi Pencucian Uang UU No. 15 Tahun 2002 Dalam Pembaharuan Hukum Fidana, Andala, padang,2003, h. 29
[6] Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat,(Bandung:Sinar Baru,1983),h.31
[7] Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Reformasi Hukum Pidan, Yogyakarta,1999,h.2
[8] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung:Eresco,1992),h.43
[9] Rijanto Sastroatmojo,Dirti Money Dan Devisa Bebas,Hukum Bisnis, YPHB,Jakarta,1998,h.23
[10] Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Cetakan Pertama(Bandung: Citra Aditia Bakti,2004)h.92
[11] Munir Fuady,Hukum Perbankan Moderen,Buku Kedua(Bandung:Citra Aditia Bakti,2001),h.183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar