Jinayah Siyasah Angkatan 2011

Foto saya
Medan, Sumatera Utara, Indonesia
Terbentuknya sarjana Ilmu syari’ah (sarjana hukum Islam) yang bertakwa kepada Allah SWT memiliki keahlian di bidang ketatanegaraan dan pidana Islam, sebagai praktisi dalam bidang hukum dan ketatanegaraan, dan meggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah ketatanegaraan dan pidana Islam dengan bijaksana berdasarkan prinsip hukum.

Jumat, 07 Desember 2012

Makalah TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT

PEMBAHASAN
Latar Belakang Masalah

Ariestoteles mengungkapkan bahwa manusia sebahgai makhluk bermasyarakat yang dikenal dengan istilah “zoon politicon”[1].Dalam masyarakat pada hakekatnya diperlukan adanya kaedah yang dapat menjaga ketertiban masyarakat tersebut. Cicerio dalam hal ini mengistilahkan dengan istilah ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disana ada hukum), dengan demikian peranan hukum dalam kehidupan bermasyarakat akan menjadi sangat penting, itu ditunjukkan dengan lahirnya konsepsi Negara hukum baik formil maupun materiil.
            Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara yang bercita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur secara merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Indonesia 1945. Seperti halnya dapat dilihat melalui bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa: “ Indonesia adalah Negara Hukum” berdasarkan tujuan Negara sebagaimanan tercantum dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum material bertujuan untuk : “… melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social…”
            Penggunaan uang sebagai alat untuk melakukan pembayaran sudah dikenal luas dan penggunaan uang sebagai sarana pembayaran suda merupakan kebutuhan pokok hampir di setiap kegiatan masyarakat.Namun dalam perjalanannya, penggunaan uang mengalami berbagai hambatan tertentu.Jika penggunaan dalam jumlah besar hambatannya adalah resiko membawa uang tunai sangat besar.
            Resiko yang timbul dan harus dihadapi adalah seperti Kehilangan, Pemalsuan atau terkena perampokan.Akibatnya kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat pebayaran mulai berkurang penggunaannya. “kartu plastic” atau yang lebih dikenal sebagai nama “kartu kredit” (credit card) atau “uang plastic” yang mampu menggantikan fungsi uang sebagai alat pembayaran.
            Penggunaan kartu kredit di Indonesia dapat dikatakan masih relative baru, namun sudah sangat luas digunakan sebagai instrument pembayaran sejak memasuki decade 1980-an. Terutama setelah deregulasi, Deregulasi adalah kebijakan pemerintah yang mengurangi berbagi factor yang melindungi industry perbankan dari masalah suatu perekonomian. (Eric. R. Reidenbach dan Robert E. Pitts, 1986:232)[2].
            Dimana bisnis kartu kredit ini digolongkan sebagai kelompok usaha jasa                 pembiayaan   berdasarkan   Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK/   013/1988 tanggal 20 Desember 1988. Citibank dan Bank Duta (merger dengan bank Danamon) dapat dikatakan sebagai bank yang cukup berperan dalam mempelopori pengembangan atau  pemasyarakatan  penggunaan  kartu  kredit  di Indonesia  dengan menerbitkan Visa dan Master Card kemudian diikuti oleh beberapa bank yang bertindak sebagai penerbit atau pengelola kartu kredit tersebut Jenis kartu kredit yang telah beredar dan dapat digunakan oleh  masyarakat sebagai alat pembayaran saat ini di Indonesia disamping Visa dan Master Card adalah Amex Card, International Diners, BCA Card, Procard, Exim Smart, Duta Card, Kassa Card dan beberapa kartu lainnya yang diterbitkan oleh bank-bank. Umumnya kartu kredit tersebut dikeluarkan oleh bank-bank umum dan perusahaan pembiayaan. Penerbitan kartu kredit oleh bank harus melalui             prosedur yang diatur oleh bank Indonesia. Sedangkan ijin penerbitan kartu kredit oleh perusahaan pembiayaan diberikan oleh Departemen Keuangan.Misalnya Diners Card oleh PT. Diners Jaya Indonesia Internasional dan Kassa Card oleh PT. Kassa Multi Finance.[3]Penggunaan kartu kredit untuk pembayaran sebagai pengganti uang tunai sejak diperkenalkannya kartu kredit pertama tersebut semakin banyak dikenal dan digunakan oleh orang.
            Namun, beberapa dekade kemudian industri kartu kredit terutama memasuki akhir dekade 1970-an, telah merambah  hampir ke seluruh bagian dunia, termasuk Indonesia. Kartu Kredit yangdikeluarkan paling umum digunakan oleh masyarakat dan berlaku Internasional saat ini terdiri atas berbagai merek, antara lain yang sangat populer adalah Visa dan Master Card yang masing-masing dikeluarkan oleh perusahaan kartu kredit Internasional dan Master Card Internasional.[4]Ada berbagai perundang-undangan lain yang dengan tegas menyebut dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini yaitu sebagai berikut :
a. Keppres No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan
 -  Pasal 2 ayat 1 dari Keppres No.61 ini antara lain menyebutkan bahwa              salah satu  kegiatan dari Lembaga Pembiayaan adalah melakukan usaha           kartu kredit
 - Sementara dalam Pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan perusahaan Kartu Kredit adalah badan usaha yang melakukan  dengan mempergunakan kartu kredit.
 - Menurut Pasal 3 dari Keppres No.61 ini yang dapat melakukan  kegiatan lembaga pembiayaan tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah :
            1. Bank.
            2. Lembaga Keuangan Bukan Bank (sekarang sudah tidak ada lagi dalam               system hukum keuangan kita).
            3.Perusahaan pembiayaan.
b.Keputusan Menteri Keuangan no.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan   Tata   Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali diubah, terkhir dengan Keputusan Menteri Kuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan.8 - Pasal 2 dari Keputusan Menkeu No.1251 ini kembali menegaskan  bahwa salah  satu dari kegiatan Lembaga pembiayaan adalah usaha kartu kredit.[5]
                      - Selanjutnya dalam pasal 7 ditentukan bahwa pelaksaan kegiatan kartu                                            kredit dilakukan denagn cara penerbitan kartu kredit yang dapat                             dipergunakan oleh untuk pembayaran pengadaan  barang/jasa.
            c. Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan seperti yang telah            diubah  dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Sehubungan dengan               perbankan, kertu kredit mendapatkan legitimasinya dalam  Undang-  Undang         No.7 Tahun1992 seperti yang telah diubah dengan Undang- Undang No.10            Tahun 1998. Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwa salah satu             kegiatan bank adalah melakukan usaha kartu kredit.[6]




























BAB1TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBARUAN HUKUM PIDANA DAN         KARTU KREDIT


2.1 Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana
2.1.1 Pengertian Pembaruan Hukum Pidana
           
            Sebelum membahas lebih lanjut tentang pengertian pembaruan hukum pidana, perlu terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan pembaruan (reform) itu sendiri, yaitu suatu upaya untuk melakukan reoroentasi dan reformasi terhadap sesuatu hal yang ditempuh melalui kebijakan[7], artinya harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Berkaitan dengan pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu:
            Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk          melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai         sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang        melandasi kebijakan social, kebijakan criminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.[8]

 Dalam hal ini pembaruan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform). Jadi pengertian pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal, dan kebijakan penegakkan hukum.[9]
            Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana,[10]
Yang secara etimologis, istilah kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan” dan “hukum pidana”. Sebagaimana menurut Sudarto yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Airief: Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam ari memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan , bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan  pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu masa yang akan datang.[11]
            Bertolak dari uraian tersebut di atas, pembaruan hukum pidana ditentukan dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaruan hukum pidana dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana berarti telah mengadakan suatu pembaruan hukum pidana.
            Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut :
            Istilah “kebijakan” diambil dari “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pulan disebut dengan istilah “politik hukum pidana”.Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.[12]
            Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian tentang politik hukum maupun dari politik criminal.
            Sedangkan pengertian politik hukum menurut Sudarto adalah sebagai berikut:
1)      Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2)      Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[13]
Lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
            Kebijakan  hukum pidana dapat juga dilihat sebagai bagian dari politik criminal. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat delepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang dilarang.Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal.Politik kriminal merupakan usaha yang rasional dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational organization of the control of crime by society.[14]
            Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan: Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Saparinah Sadli menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma social yang mendasari kehidupan atau keteraturan social; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan social; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban social. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah social, malahan menurut Benedict S. Alper merupakan “the oldest social problem”.[15]
            Sebagai suatu persoalan social yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus-menerus.Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.Namun demikian usaha inipun masih sering dipersoalkan.
            Sehubungan dengan masalah ini, menurut Roeslan Saleh sebagaimana dekemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alas an mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut :
·         Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan peribadi masing-masing.
·         Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
·         Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.[16]
            Dengan demikian Nampak bahwa prevenci khusus dan prevenci umum menjadi pertimbangan utama. Disisi lain ada pertimbangan nilai yaitu keseimbangan antara nilai dari hasil perbuatan yang dikenakan pidana dengan biaya yang dikeluarkan.
            Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah social termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum.Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.[17]
            H.L.Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief:
a. (the criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the
oreseeable future, get along without it)Sanksi pidana sangatlah
diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang
akan datang, tanpa pidana.
b. (the criminal sanction is the best available device we have for
dealing with gross and immediate harms and threats of
harm).Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang
tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan
atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman
dari bahaya
c. (the criminal sanction is atau once prime guarantor and prime
threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is
guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener)
Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang
utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama
dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan
secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan
pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara
paksa.[18]
           Tidak ada absolutism dalam bidang kebijakan, karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalaha penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternative.Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan mengunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).
           Bertolak dari pengertian kebijakan hukum pidana di atas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan, bahwa:
           Dilihat dari bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti,bagaimanamengusahakan atau membuat da merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik…Dengan demikian, yang dimaksud “peraturan hukum positif”(the positive rules) adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.[19]

Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Pidana
           Sebagaimana diketahui, bahwa bagi bangsa Indonesia yang berasakan Pancasila menjadi falsafah hidup, dan juga menjadi dasar falsafah negara.Sebagai falsafah hidup bangsa, Pancasila merupakan jiwa bangsa, kepribadian bangsa, sarana tujuan hidup bansa, pandangan hidup dan pedoman hidup bangsa.Begitu juga Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
           Dalam rangka merespon amanat pembukaan UUD 1945 tersebut maka pembaruan sebagai produk perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut diprioritaskan.Dengan demikian dari amanat tersebut juga tersimpul keharusan untuk melakukan pembaruan di bidang hukum.Usaha pembaruan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti diumuskan dalam UUD 1945.
           Namun mengingat permasalahan hukum menyentuh aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas sehingga setiap saat berubah, maka pembaruan tidak dapat dilakukan dalam sekejap.Sebagaimana pengertian pembaruan hukum pidana yang dikemukakan pada sub-1 di atas, dalam hal ini ruang lingkup pembaruan hukum pidana meliputi:
                                                           i.            Pembaruan substansi hukum pidana;
                                                         ii.            Pembaruan struktur hukum pidana; dan
                                                       iii.            Pembaruan budaya hukum pidana.
Dalam pembaruan Kebijakan hukum Pidana Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit melakukan pembaruan pada aspek pembaruan substansi hukum pidana. Dimana pembaruan substansi hukum pidana, Barda Nawawi Arief berpendapat:
1)      Suatu reorientasi dan reformasihukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-folosifik, sosio-politik, sosio-kultural masyarakat. Pembaruan hukum pidana pada dasarnya adalah:
·         Pembaruan konsep nilai
·         Pembaruan ide-ide dasar
·         Pembaruan pokok-pokok pemikiran
·         Pembaruan paradigm/wawasan
2)      Sebagai bagian dari “Sosial Policy”, pembaruan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dai upaya mengatasi masalah social untuk mencapai kesejahteraan/perlindungan masyarakat.
3)      Sebagaidari “Criminal Policy”, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya penanggulangan kejahatan.
4)      Sebagai bagian dari “Law Enforcement Policy”, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya menunjang kelancaran/efektivitas penegakkan hukum.
5)      Pembaruan substansi hukum pidana meliputi:
§  Pembaruan hukum material
§  Pembaruan hukum formal
§  Pembaruan hukum pelaksanaan pidana.[20]
Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah merdeka juga berupaya segera
mengadakan pembaruan KUHP (WvS) yang disesuaikan dengan politik hukum,
keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia
serta diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan jika
dibandingkan dengan undang-undang warisan kolonial.
Dengan demikian ruang lingkup kebijakan hukum pidana dapat mencakup
kebijakan di bidang pidana formil, materiel serta pelaksanaan pidana itu sendiri.
Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sangat luas karena tidak hanya
menyangkut hukum pidana dalam arti materiel (pidana dan pemidanaan) tetapi
juga mengatur tentang bekerjanya hukum pidana melalui lembaga sub-sistem
peradilan yang ada serta bagaimana pelaksanaan eksekusinya.



          





2.2 Kartu Kredit
2.2.1 Pengertian Kartu Kredit

            Kartu Kredit merupakan “uang plastic” yang dikeluarkan oleh bank, kegunaannya adalah sebagai alat pembayaran di tempat-tempat tertentu seperti supermarket, hotel, restaurant, tempat hiburan dan tempat lainnya.[21]
            Mengutip beberapa pengertian kartu kredit dalam penelkitian tesis A.A
Sagoengeng Poetri Praniti dalam judul Kajian Aspek Pidana Dalam

Dalam Encyclopedia Americana
“Credit card is a means of identification by which of the owner may obtain
consumer credit for the purchase of goods or service rather than pay cash.
At the time of sale he present his card to the seller, who records the
purchasers name an account number a long with the price of purchase
records are sent to a central billing office that calculates the total price of
purchases made by the card owner during the business month and send
him a bill. The purchaser returns his personal check covering all or part
of the total to the central office, which allocates the money to the establish
entitle to it”.[22]
(Terjemahan bebas :Kartu Kredit adalah suatu alat pengenal, dimana
pemilik boleh mendapat kredit untuk pembelian barang-barang atau
mendapat pelayanan dari pada pembayaran kontan. Biasanya pembeli, ia
memberikan kartunya pada penjual yang mencatat nama pembeli,
menghitung nomor sebanding dengan harga pembelian. Catatan itu dikirim
ke kantor pusat pengajuan rekening untuk menghitung harga total dari
pembelian-pembelian yang telah dibuat oleh pemilik kartu selama usaha
bulanan dan mengirimkannya suatu isian rekening. Pembeli kembali dapat
menutup cheknya semua atau bagian totalnya, pada kantor pusat yang
menyediakan uang untuk pembukuan kredit yang berhak untuk itu).


Menurut Peter Salim
“Kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh Bank atau lembaga
keuangan bagi langganan-langganannya untuk dapat membeli barang dan
jasa dari. perusahaan yang menerima kartu kredit tersebut, tanpa
pembayaran dengan uang tunai.”[23]
“Kartu kredit merupakan alat pembayaran yang memungkinkan si
pemegang kartu untuk memperoleh barang-barang atau pelayanan dari
pedagang, dimana peraturan-peraturannya telah dibuat (secara langsung
atau tidak langsung) oleh orang yang mengeluarkan kartu tersebut, juga
yang membuat peraturan-peraturan untuk membayar kerugian pada
pedagang. Si pemegang kartu membayar kepada pembuat kartu menurut
batas rencana yang khusus.[24]
           
            Di dalam Pasal 1 ayat (8) Kepurusan Presiden Republik Indonesia No.61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan disebutkan bahwa Perusahaan kartu kredit (credit card company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan mengunakan katu kredit.
            Dengan demikian kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak Bank atau lembaga keuangan lainnya, dimana si pemilik kartu dalam melakukan suatu transaksi dapat memperoleh barang-barang atau pelayanan jasa dengan menunjukkan kartu tersebut yang juga dapat berfungsi sebagai alat pembayaran secara tunai.




2.2.2 Jenis-Jenis Dan Ciri-Ciri Kartu Kredit
            Adapun jenis-jenis kartu kredit dapat digolongkan berdasarkan fungsi dan wilayah berlakunya.[25]
Berdasarkan fungsinya:
§  Credit Card- sebagai alat pembayaran transaksi jual beli barang atau jasa dimana pelunasan atau pembayarannya kembali dapat dilakukan
§  Charge Card- adalah sebagai alat pembayaran suatu transaksi jual beli barang atau jasa dimana nasabah harus membayar kembali seluruh tagihan secara penuh pada akhir bulan atau bulan berikutnya
§  Debit Card- merupakan transaksi tunai dengan tidak menggunakan uang tunai akan tetapi pelunasannya atau pembayarannya dilakukan denagn cara mendebit (mengurangi) secara langsung saldo rekening simpanan pemegang kartu yang bersangkutan dan dalam waktu yang sama mengkredit rekening penjual (merchant) sebesar jumlah nilai transaksi pada bank penerbit (pengelola).
§  Cash Card- kartu yang memungkinkan pemegang katru untuk menarik uang tunai baik langsung pada kasir bank maupun melalui ATM bank tertentu.
§  Check Guarante Card- sebagai jaminan dalam penarikan cek oleh pemegang kartu.
Ciri-ciri Kartu Kredit
            Dari berbagai macam kartu kredit yang diterbitkan oleh pengelola kartu kredti di Indonesia, terdapat ciri-ciri umum yang sama antar satu dengan yang lain, yaitu:[26]
a. Tampak Muka :
1) Nomor kartu
2) Masa berlaku
3) Nama pemegang kartu
4) Logo dan nama dari bank penerbit
5) Nomor identifikasi dari bank penerbit.
6) Hologram (gambar tiga dimensi) khususnya untuk : Master Card, Visa,
Astra Card, BCA Card.
b. Tampak Belakang
1) Signature Panel (Panel tanda tangan)
2) Magnetic Stripe
3) Debosing number (nomor yang dicetak tenggelam) yang sama dengan
tercetak di depan.

            Ciri-ciri tersebut diatas bukanlah merupakan ciri-ciri yang hanya terdapat
pada kartu kredit, karena sebagaian dari ciri-ciri tersebut dapat ditemukan
pada beberapa macam kartu yang diterbitkan oleh bank atau lembaga
keuangan lain, misalnya: kartu ATM, Discount Card, dan lain-lain. Namun
karena penggunaan kartu kredit didasarkan perjanjian antara pihak-pihak
terkait, maka yang membedakan kartu kredit dengan kartu lain yang
mempunyai ciri-ciri yang sama, adalah bahwa hanya pemegang kartu kredit
yang akan memperoleh fasilitas kredit sesuai dengan perjanjian dimaksud.


2.2.3 Pihak-Pihak Yang Terkait Dan Syarat Pemegang Kartu Kredit

            Dalam industri kartu kredit, adapun pihak-pihak yang terkait
didalamya, antara lain :
a. Issuer Card, merupakan pihak atau lembaga yang mengeluarkan dan
mengelola suatu kartu. Penerbit dapat berupa bank, lembaga keuangan lain
dan perusahaan non lembaga keuangan. Perusahaan yang khusus menerbitkan
kartu kredit hams terlebih dahulu memperoleh ijin dari Departemen
Keuangan. Apabila penerbit adalah bank, maka harus mengikuti ketentuan
dari Bank Indonesia. Selanjutnya dalam tesis ini, Issuer Card disebut sebagai
Penerbit.
b. Acquirer, adalah lembaga yang mengelola penggunaan kartu kredit, terutama
dalam hal pembayaran kepada pedagang (merchant) dan menagih kepada
pihak issuer yang tidak berhubungan langsung dengan pedagang. Acquirer
juga sering disebut dengan istilah Pengelola.
c. Cardholder/Cardmember/Pemegang Kartu, adalah seorang atau nasabah yang
telah memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan sehingga
berhak untuk memegangkartu kredit dan menggunakannya sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan.
d. Merchant/Pedagang, adalah pedagang ayang telah ditunjuk /disetujui oleh
pihak Pengelola untuk dapat melakukan transaksi dengan Pemegang Kartu
yang menggunakan kartu kredit sebagai pengganti uang tunai.

Adapun prosedur untuk mendapatkan kartu kredit, antara lain:
1. Dari sisi pemegang
Calon pemegang diwajibkan mengisi formulir permohonan dan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
            a. Bila calon pemegang adalah seorang pengusaha, maka syarat yang
            diperlukan adalah:
                        1) K.T.P. atau Pasport
                        2) Rekening koran selama 3 (tiga) bulan
                        3) Akte pendirian perusahaan atau S.I.U.P.
            b. Bila calon pemegang adalah seorang karyawan, maka syarat yang
            diperlukan adalah :
                        1) K.T.P. atau Pasport.
                        2) Keterangan gaji dan masa kerja dari perusahaan tempat                            pemohonbekerja.
            c. Bila calon pemegang adalah Dokter, Pengacara, Akuntan dan
            sebagainya, maka syarat yang diperlukan adalah :
1) K.T.P. atau Pasport.
2) Rekening korang selama 3 (tiga) bulan.
3) Surat ijin praktek.
2. Dari sisi Penerbit
Permohonan kartu kredit tersebut diproses dengan memperhatikan segi
keamanan, antara lain :
            a. Memeriksa keaslian dari KTP/Pasport yang ada.
            b. Melakukan crosschecking (rating) kepada penerbit lain apabila                 pemohonmempunyai kartu kredit lain
            c. Melakukan penelitian dalam daftar hitam BI atau AKKI
            d. Pihak penerbit akan melakukan penyelidikan lapangan.
            e. Meneliti data rekening/tabungan dan keterangan gaji yang ada untuk
            menetapkan apakah pemohon layak diberikan kartu kredit.
Penerbit berhak menetukan apakah calon pemegang layak mendapatkan
kartu kredit atau menolak keanggotaan tanpa memberitahukan alasannya. Bila
disetsujui maka akan terjadi proses sebagai berikut:
            a. Bagian analisa kredit akan mengirimkan data calon pemegang ke             bagiandata entry untuk dilakukan pemasukan data ke dalam data base            banktermasuk pagu kredit yang disetujui.
            b. Dilakukan pengecekan silang terhadap data yang dimasukkan dengan
            formulir permohonan calon pemegang.
            c. Selanjutnya bagian pencetakan kartu mencetak kartu kredit sesuai           dengandaftar permintaan pencetakan (bila terjadi kesalahan dalam             pencetakan,kartu kredit tersebut akan dimusnahkan dengan suatu     berita acarapemusnahan).
            d. Kartu yang sudah dicetak disimpan pada tempat penyimpanan khusus    dantercatat yang selanjutnya dikirimkan ke bagian pengiriman kartu.
            e. Bagian pengiriman akan mengirimkan kartu kepada pemegang melalui
            ekspedisi (kurir) yang ditunjuk melalui suatu perjanjian khusus. Pihak
            ekspedisi akan memberikan bukti penerimaan kartu kepada bagian
            pengiriman (pihak bank) setelah kartu diterima oleh pemegang kartu.           Biladalam jangka waktu tertentu kartu tidak dapat disampaikan kepada
            pemegang kartu karena pemegang kartu keluar kota, tidak ada di tempat
            atau pindah alamat, maka kartu tersebut akan dikembalikan ke bank            untukdisimpan dan selanjutnya pihak bank akan mengirimkan     pemberitahuankepada pemegang kartu untuk mengambil kartu tersebut di kantorpenerbit.


Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Kartu Kredit

            Setiap nasabah yang memegang kartu kredit selalu mendambakan berbagaikemudahan dan keuntungan lainnya.Hal ini sesuai dengan tujuan penggunaankartu kredit tersebut.Agar para nasabah tidak terjebak dalam berbagai masalahdengan memegang kartu yang diperolehnya, maka pemilihan untuk memegangkartu perlu lebih hati-hati, karena setiap jenis kartu memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing.[27]
            Cara memilih jenis kartu yang baik dapat dilihat dari berbagai segi, setiap
kartu mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Secara umum
kartu kredit dikatakan baik apabila :
1. Persyaratan untuk memperoleh kartu kredit relatif ringan.
2. Proses cepat dan mudah serta tidak bertele-tele.
3. Mempunyai jaringan yang luas, sehingga dengan mudah dapat
dibelanjakan di berbagai tempat yang diinginkan.
4. Biaya penggunaan yang relatif rendah seperti uang iuran tahunan dan bunga
yang dibebankan ke pemegang kartu.
5. Kartu harus dapat digunakan dengan multi fungsi.
6. Penggunaan kartu memberikan rasa bangga kepada pemakainya.





BAB2RELEVANSI PEMBARUAN HUKUM PIDANA TERHADAP            TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT

Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Kredit Dalam KUHP

            Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana
namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara
hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari 2 suku kata yaitu negara
dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling isimengisiantara negara di satu pihak dan hukum dipihak lain.[28] HAM sebagai
bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya
pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan
elemen esensial konstruk Indonesia modern.[29] Individu/ perorangan dengan
hak asasinya dapat didekati lebih dahulu lewat hukum internasional, karena
individu selain diakui sebagai subjek hukum internasional juga subjek
hukum nasional, sehingga memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab
formal dan jelas.[30]
            Kejahatan kartu kredit memerlukan proses hukum yang adil. Menurut
Mardjono Reksodiputro, proses hukum yang adil adalah lebih jauh darisekedar penerapan hukum atau perundang-undangan formal. Dalampengertian proses hukum yang adil terkandung penghargaan akankemerdekaan seorang warga negara. Dengan demikian, meskipun wargamasyarakat telah melakukan suatu perbuatan tercela (tindak pidana), hak-haknyasebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang.[31]


            Dalam hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada pelaku
dan perbuatan (daad-daderstrafsrecht), sanksi pidana ini tidak lagi hanyameliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, akan tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relative bermuatan pendidikan.[32]
            Istilah tindak pidana merupakan istilah teknik yuridis yang berasal dariterjemahan delict atau strafbaar feit disamping istilah lainnya sepertiperistiwa pidana,perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan yang boleh dihukum.Moeljatno dalam bukunya tentang azas-azas hukum pidanamemberikan definisi tindak pidana yaitu:
                        “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan                  pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”[33]
            Berdasarkan pengertian tersebut M.Sudrajat Bassir memberikankomentar bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan inijuga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau menghambatterlaksananya tata cara dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik danadil. Sehingga suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabilaperbuatan tersebut :
1. Melawan hukum
2. Merugikan masyarakat
3. Dilarang oleh aturan pidana
4. Pelakunya diancam dengan pidana.[34]
            Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan, khususnya
dalam tindak pidana pemalsuan, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 263 KUHP,
yaitu :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapatmenimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang dapat diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai suratsurat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam juga pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuansurat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun;
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jikapemakaian surat itu dapat menimbuikan kerugian.[35]
                       
            Untuk lebih jelasnya akan diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal
263 KUHP. Rumusan pada ayat (1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur obyektif
            1) Perbuatan :
            a) membuat palsu;
            b) memalsu;
            2) Obyeknya : yakni surat:
            a) yang dapat menimbulkan suatu hak;
            b) yang menimbulkan suatu perikatan;
            c) yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;
            d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal;
            3) Dapat menimbulkan kerugian akibat dari pemakaian surat tersebut.
b. Unsur Subyektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain      memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.

            Unsur kesengajaan yang demikian itu harus dibuktikan. Pasal 264 KUHP (pemalsuan surat yang diperberat), merumuskan sebagaiberikut:
            (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun,      jika dilakukan terhadap :
                        ke-1 akte authentik;
                        ke-2 surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau sebagainya               atau dari suatu lembaga umum;
                        ke-3 sero atau surat hutang atau sertifikat sero atau hutang darisuatu                       perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
                        ke-4 talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang                      diterangkan pada ke-2, ke-3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai              pengganti surat itu;
                        ke-5 surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untukdiedarkan.
            (2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau dipalsukan seolah-o!ah benar dan tidak palsu, jika pemalsuan itu mendatangkan kerugian.[36] Nyatalah bahwa yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan suratpada Pasal 264KUHP diatas terletak pada faktor macamnya surat.
            Surat-surat tertentu yang menjadi obyek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi daripada surat-surat biasa atau surat lainnya. Kepercayaan yang lebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan diperberat ancaman pidananya. Pasal 264 KUHP, yang masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2) mempunyai unsur-unsur.Pasal 264 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
            1. Semua unsur baik obyektif maupun subyektif pada Pasal 263 KUHP
            2. Unsur-unsur khusus pemberatnya (bersifat alternatif) berupa obyek surat-surat    tertentu, ialah :
                        a. Akta-akta otentik
                        b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari:
                                    1) Suatu negara
                                    2) Bagian negara
                                    3) Suatu lembaga umum
                        c. 1) Surat sero
                        2) Surat hutang dari suatu perkumpulan
            3) Surat hutang dari suatu yayasan
                        4) Surat hutang dari suatu perseroan
                        5) Surat hutang dari suatu maskapai
                        d. 1) Talon, tanda bukti deviden atau tanda bukti bunga dari surat-surat                  pada butir b dan c diatas
                        2) Tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti suratsuratitu
            e. 1) Surat-surat kredit
                        2) Surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
            Berbicara tentang subyek pidana, tidak bisa terlepaskan dariwujud perbuatan sebagai unsur dari tindak pidana.[37] Unsur –unsur kejahatan dalam ayat (2) adalah sebagai berikut :
1. Unsur obyektif:
            a. Perbuatan : memakai
            b. Obyeknya : surat-surat tersebut pada ayat (1)
            c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu
2. Unsur subyektif: dengan sengaja.
            Terhadap rumusan ayat (1) Pasal 264 KUHPdengan rumusan ayat (1) Pasal 263 KUHP pada dasarnya mempunyai arti yangsama antara pemalsuan surat, dengan membuat surat palsu ataumemalsu surat........dan seterusnya. Sedangkan perbedaannya hanyalahterletak pada jenis surat yang menjadi obyek kejahatan. Faktor jenissurat-surat tertentu inilah yang menyebabkan adanya kejahatan yang berdiri sendiri dan merupakan pemalsuan surat yang lebih beratdaripada bentuk pokoknya (Pasal 263 KUHP).
            Melihat kasus yang terjadi pada tanggal 15 s/d 20 Juni 2001bertempat di PT.Atlantik Tour Cabang Denpasar Jalan Diponogoro, jika dikaitkan dengan isi Pasal 263 KUHP maka para terdakwa dalamperbuatannya bahwa kartu kredit yang dipergunakan dalam melakukantransaksi adalah palsu karena kartu kredit tersebut penerbitnya bukanHongkong Bank tetapi Bank penerbitnya adalah City Bank VisaSingapura. Di samping itu kartu kredit tersebut jika dilihat dari hologram tidak terlihat tiga dimensi dan tidak rapi, semua perbuatanini sudah diketahui dan disadari oleh para terdakwa bahwa perbuatanini pemalsuan dan dapat menimbulkan kerugian.
            Pada dasarnya untuk dapat dihukum dengan pasal-pasal diatas, unsur nyata dari si pelaku harus menampakkan adanya suatu maksudbahwa penggunaan surat itu (baik yang terdapat dalam Pasal 263KUHP), seolah-olah si pelaku itu sendiri maupun dengan caramenyuruh orang lain untuk menggunakan surat yang dipalsukan itu,seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
            Kata-kata "dapat" dari pasal diatas, konotasinya adalahkerugian tersebut bisa terjadi atau dapat juga tidak terjadi, atau dengankata lain kerugian tidak perlu hoois terjadi atau sudah ada. Sedangkanapa yang dimaksud dengan kerugian itu sendiri, dalam peraturanperundang-undangan belum menentukan batasannya secara jelas.Apakah kerugian tersebut harus selalu dikaitkan dengan kerugian yang
sifatnya materiil atau juga kerugian di lapangan kemasyarakatan,
kesusilaan dan kehormatan.[38]
            Kerugian yang dimaksud daiam Pasal 263 KUHP, tidak sajameliputi kerugian materiil, tetapi juga kerugian di lapangankemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dan sebagainya, maka dalamhai ini sangat sulit bagi kita untuk menafsirkan berapa jumlah kerugian(kehormatan,kesusilaan) dalam bentuk nilai uangnya. Hal inidisebabkan karena sifat dari kerugian yang bersifat non materiil inihanya dapat dirasakan oleh orang yang merasa kehormatan maupunnama baik nya dirugikan.
            Oleh karena itu, pembatasan mengenai kerugian ini, hendaknya konsisten dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat, artinyakerugian yang sifatnya non materiil hendaknya dinilai sesuai dengankepentingan yang berlaku dalam masyarakat.
            Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja " memalsukan " surat(ayat 1), tetapi juga " sengaja mempergunakan " surat palsu (ayat 2). "Sengaja" maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harusmengetahui benar-benar, bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika iatidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
            Pengenaan Pasal 263 KUHP untuk menjaringpelaku kejahatan kartu kredit memiliki beberapa kelemahan. Dalamrumusan Pasal 263 KUHP tersebut, dikatakan bahwa tindak pidanadilakukan dengan membuat surat palsu atau memalsukan surat,sementara untuk melakukan kejahatan kartu kredit, pelaku tidak perlumemalsukan surat (misalnya memalsukan surat berupa data nasabahyang dikeluarkan oleh lembaga pembiayaan kartu kredit).


Tindak Pidana Penipuan Kartu Kredit.
            Mengenai penipuan dalam hal penggunaan kartu kredit, dalam putusannya hakim mendasarinya pada Pasal 378 KUHP tentang penipuan,yang isinya :
            Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
            orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau
            keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun karangan
            perkataan-perkataan bohong, membujuk seseorang untuk memberikan
            sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum
            karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
Penipu itu pekerjaannya:
a. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang, ataumenghapuskan piutang
b. Maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atauorang lain dengan melawan hak.
c. Membujuknya itu dengan memakai : nama palsu atau keadaan palsu,akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong

Adapun unsur-unsur Pasal 378 KUHP, antara lain:
1. menggerakkan/membujuk orang lain ( uitloking );
2. agar orang lain : menyerahkan sesuatu, membuat hutang, menghapuskan
piutang;
3. dengan menggunakan (alat pembujuk/penggerak) : nama palsu,
keadaan palsu, rangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat;
4. dengan maksud : untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum.
            Dalam hal ini dapat dikemukakan, bahwa penyerahan sesuatu barang
atau uang hams merupakan suatu akibat perbuatan menggerakkan atau
membujuk orang lain, bujukan mana dipergunakan dengan menggunakan daya
upaya yang terdiri dari nama palsu, rangkaian kata-kata bohong dan atau tipu
muslihat.
           
            Unsur pemalsuan dan penipuan yang terjadi pada kasus yang menimpaPT.Atlantik Tour Cabang Denpasar dan Departemen Store Tragia Kerta Wijaya Jln. Diponegoro.dimana pelakunya adalah Toyib, Novianto Andrianydan Pria Agustian pada tanggal 15 s/d 20 Juni 2001, adalah kasus tentang penyalah gunaan kartu kredit Berdasarkan fakta-fakta yang torungkap dalampemeriksaan di persidangan, maka unsur-unsur tindak pidana yangdidakwakan yaitu :Dakwaan kesatu melanggar Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55ayat (1) ke-1 KUHP.Dakwaan kedua melanggar Pasal 378 jo Pasal64 ayat (1)jo Pasal 55 ayat (10ke-1 KUHP.


3.3 Penanggulangan Penyalahgunaan Kartu Kredit
            Terhadap penanggulangan penyalahgunaan kartu kredit, Teori Politik kriminal digunakan untuk mengkaji permasalahan ini, dalam hal ini merupakan kebijakan kebijakan atau usaha yang rasional untukmenanggulangi kejahatan, dimana dalam hal ini merupakan bagian dari politikpenegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), Semuanyamerupakan bagian dari politik sosial (social policy) yaitu usaha darimasyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
            Pidana yang dikenakan terhadap kejahatan atau pelanggaran yangterjadi di bidang perbankan, pada dasamya mengikuti ketentuan pidana yangdiatur pada Pasal 10 KUHP, yaitu pengenaan pidana pokok, dan pidanatambahan. Pidana terhadap perbuatan kejahatan ataupun pelanggaran yangterjadi hanya mengenakan pidana berupa penjara, kurungan,dan denda.Sedangkan pidana tambahannya hampir selalu menyertai setiap pengenaanpidana pokok tersebut, baik berupa altenatif pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim.

3.4 Pentingnya Pembaruan Hukum Pidana
            Tertib hukum dapat diwujudkan melalui suatu perubahan yang teratur,melalui prosedur hukum, baik yang berwujud perundang-undangan, ataupunkeputusan-keputusan badan peradilan, lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur yang menggunakan kekerasan semata-mata.[39]
            Penyalahgunaan kartu kredit memberikan dampak yang kurang baik bagiNegara Indonesia yakni sebagai negeri sarang pelaku kejahatan dengan kartu kredit dan Indonesia telah masuk daftar hitam kejahatan dengan pembayaran kartukredit.Sehingga sangat diperlukan pembaruan KUHP untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP belum mengatur sementara kejahatannya sangatbanyak terjadi.
            Dapat dikatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada kakikatnya harusditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policy-oriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("value-oriented approach").[40]
           




















BAB3 KEBIJAKAN PEMBARUAN HUKUM PIDANA DALAM
PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT
4.1 Tindak Pidana Pemalsuan dan Penipuan dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu bahwa pemalsuandiatur dalam Pasal 263 KUHP, yang isinya :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapatmenimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang dapat diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksuduntuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat-surat tersebutseolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam juga pemakaian tersebutdapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidanapenjara paling lama enam tahun;
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
            Didalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1999-2000 pemalsuan juga dicantumkan dalam Bab XIII tentang TindakPidana Pemalsuan Surat, dimana dalam Pasal 395 nya menyebutkan:

Dipidana karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)tahun atau denda paling banyak Rp.7.500.000,-(tujuh juta lima ratus riburupiah), setiap orang yang :
            a. membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan           suatu hak perikatan atau pembebasan hutang atau diperuntukkan sebagai
            bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh
            orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika
            penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian, atau
            b. dengan sengaja menggunakan surat yang isinya tidak benar atau dipalsu,
            seolah-olah benar atau tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat      menimbulkan kerugian.[41]
Sedangkan di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun2008, dalam bab XIV diatur mengenai tindak pidana pemalsuan suratKetentuan Pasal 452 RKUHP 2008 menyatakan bahwa :

Dipidana karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, setiap orang yang:

a. Membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan
suatu hak, perikatan, pembebasan utang, atau yang diperuntukan sebagai
bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh
orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika
penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian; atau
b. Menggunakan surat yang isinya tidak benar atau palsu, seolah-olah benar
atau tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan
kerugian.

Ketentuan Pasal 453 RKUHP menyatakan bahwa:
Dipidana karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 9(sembilan) tahun, setiap orang yang:
            a. Membuat secara tidak benar atau memalsu;
                        1. Akta otentik
                        2. Surat utang atau sertifikat utang dari suatu Negara ataubagiannya atau                dari suatu lembaga umum
                        3. Saham, surat utang, sertifikat saham, sertifikat utang darisuatu                            perkumpulan, yayasan, perseroan atau persekutuan;
                        4. Talon, tanda bukti dividen atau tanda bukti bunga salahsatu surat                        sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan
                        angka 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat                 tersebut;
                        5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan gunadiedarkan;
                        6. Surat keterangan mengenai hak atas tanah; atau
                        7. Surat-surat lainnya


























PENUTUP
            Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:


Kesimpulan
1. Pentingnya diadakannya pembaruan hukum dalam penanggulangantindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dimana ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP tidak relevan digunakan untukmenanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. Beberapakelemahan dari Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP antara lain:
            1. Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat
            2. Hal yang dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain         yang telah berhasil dicuri melaluipenipuan lewat telepon kepada si korban.
Dengan demikian untukmengantisipasi penyalahgunaan kartu kredit, maka kebijakan yangharus ditempuh oleh Pemerintah adalah penemuan hukum (rechtfinding) harus segera dilakukan dikarenakan belum adaketentuan yang mengatur mengenai penanggulangan kartu kredit.

Saran
1. Dikarenakan pentingnya pembaruan hukum pidana terhadap tindak pidanapenyalahgunaan kartu kredit maka koordinasi,kesamaan persepsi dankerjasama antar pihak Bank, POLRI, Kejaksaan, Hakim harus semakinlebih baik dimana para pihak tersebut merupakan bagian penting di dalampenanggulangan secara tuntas terhadap kasus-kasus penyalahgunaan kartukredit yang semakin marak.
2. Pembaruan hukum pidana khususnya terhadap tindak pidanapenyalahgunaan kartu kredit harus dapat segera dilaksanakan, karenadengan semakin maraknya penyalahgunaan kartu kredit bukan sajamerugikan korban dan penerbit kartu kredit tersebut tetapi juga berdampaknegative bagi perkembangan ekonomi Negara Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

§  Sudikno Mertodikusumo.1985.Mengenal hukum (Suatu Pengantar) Liberty Yogyakarta.
§  Dahlan Siamat, 2001, Manaiemen Lembaga Keuangan, Edisi III, Lembaga Penerbit FE Ul.
§  Leden Marpaung.1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Sinar Grafika. Jakarta.
§  Barda Nawawi Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana Pasca SarianaUniversitas Indonesia. Jakarta
§  Sudarto. 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung, (selanjutnyadisingkat Sudarto II).
§  http://thimutz.blogspot.com/2010/10/pengertian-dan-dampak-deregulasi-dari.html
§  Bambang Purnomo, 1984, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta


[1]Sudikno Mertodikusumo, 1985, Mengenal hukum (Suatu Pengantar) Liberty, Yogyakarta,hal.3
[3]Dahlan Siamat, 2001, Manaiemen Lembaga Keuangan, Edisi III, Lembaga Penerbit FE Ul,Hal. 309.
[4]Ibid, hal.400.
[5]Leden Marpaung.1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Sinar
Grafika. Jakarta. hal.130.
[6]http://www.scribd.com/doc/22370900/Paper-Tentang-Kartu-Kredit diakses pada tanggal 13.10.2012
[7]Barda Nawawi Arief II, op.cit, hal. 27
[8]Ibid, hal.48.
[9]Ibid. hal.27-28
[10]Ibid
[11]Ibid.hal.25.
[12]ibid. hal.24
[13]ibid. hal 24-25
[14]Sudarto I, op.cit.hal.162.
[15]Muladi Dan Barda Nawawi Arief I, Op.cit, hal. 148-149.
[16]Ibid, hal.152-153.
[17]ibid. Hal149
[18]Ibid,hal.155-156.
[19]Ibid,hal.25.
[20]http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf
[21]Kasmir I, Op cit, hal. 117.
[22]Praniti, A.A. Sg. op.cit.hal90
[23]Ibid
[24]Ibid
[25]Dahlan Siamat. Op.cit. hal. 401.
[26]Juklak POLRI, Op. Cit, hal. 4.
[27]Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Edisi Revisi 2001), PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001,hal.307.
[28] Majda El Muhtaj,2008, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 46-47.
[29]Ibid, hal.59.
[30] Masykur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) Proses Dinamika Penyusunan Hukum HAM (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.
[31] Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, hal 28.
[32]Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP UNDIP. Semarang.1997.hal.151
[33]Moeljatno, 1980, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal.1
[34] Sudrajat Bassir M, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu didalam KUHP, Remadja Karya, Bandung, hal.2
[35] Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT. Raja Grafindo Persada, hal. 98.
[36] Ibid,hal 107.
[37]Wiryono Prodjodikoro. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Eresco.Bandung.hal.56.
[38]Marulak Pardede I, op.cit, hal. 95.
[39]Mochtar Kusumaatmaja. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan.Alumni.
Bandung.2002.hal.120.
[40]Barda Nawawi II, op.cit,hal.31
[41]Rancangan UP Rl tentang KUHP. Direktorat Perundang-Undangan, Direktorat JenderalHukum dan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999 - 2000, hal. 148


Tidak ada komentar:

Posting Komentar