TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT
PEMBAHASAN
Latar Belakang Masalah
Ariestoteles mengungkapkan bahwa manusia sebahgai makhluk
bermasyarakat yang dikenal dengan istilah “zoon politicon”[1].Dalam
masyarakat pada hakekatnya diperlukan adanya kaedah yang dapat menjaga
ketertiban masyarakat tersebut. Cicerio dalam hal ini mengistilahkan dengan
istilah ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disana ada hukum), dengan
demikian peranan hukum dalam kehidupan bermasyarakat akan menjadi sangat
penting, itu ditunjukkan dengan lahirnya konsepsi Negara hukum baik formil
maupun materiil.
Negara Kesatuan
Republik Indonesia merupakan Negara yang bercita-cita untuk mewujudkan
kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur secara merata
baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Indonesia 1945. Seperti halnya dapat dilihat melalui bunyi Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 dinyatakan bahwa: “ Indonesia adalah Negara Hukum” berdasarkan
tujuan Negara sebagaimanan tercantum dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945
dikatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum material bertujuan
untuk : “… melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan social…”
Penggunaan uang
sebagai alat untuk melakukan pembayaran sudah dikenal luas dan penggunaan uang
sebagai sarana pembayaran suda merupakan kebutuhan pokok hampir di setiap
kegiatan masyarakat.Namun dalam perjalanannya, penggunaan uang mengalami
berbagai hambatan tertentu.Jika penggunaan dalam jumlah besar hambatannya
adalah resiko membawa uang tunai sangat besar.
Resiko yang timbul
dan harus dihadapi adalah seperti Kehilangan, Pemalsuan atau terkena
perampokan.Akibatnya kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat pebayaran
mulai berkurang penggunaannya. “kartu plastic” atau yang lebih dikenal sebagai
nama “kartu kredit” (credit card) atau “uang plastic” yang mampu menggantikan
fungsi uang sebagai alat pembayaran.
Penggunaan kartu
kredit di Indonesia dapat dikatakan masih relative baru, namun sudah sangat
luas digunakan sebagai instrument pembayaran sejak memasuki decade 1980-an.
Terutama setelah deregulasi, Deregulasi adalah kebijakan pemerintah yang
mengurangi berbagi factor yang melindungi industry perbankan dari masalah suatu
perekonomian. (Eric. R. Reidenbach dan Robert E. Pitts, 1986:232)[2].
Dimana bisnis
kartu kredit ini digolongkan sebagai kelompok usaha jasa pembiayaan berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK/ 013/1988 tanggal 20 Desember 1988. Citibank
dan Bank Duta (merger dengan bank Danamon) dapat dikatakan sebagai bank yang cukup
berperan dalam mempelopori pengembangan atau
pemasyarakatan penggunaan kartu
kredit di Indonesia dengan menerbitkan Visa dan Master Card kemudian
diikuti oleh beberapa bank yang bertindak sebagai penerbit atau pengelola kartu
kredit tersebut Jenis kartu kredit yang telah beredar dan dapat digunakan oleh masyarakat sebagai alat pembayaran saat ini di
Indonesia disamping Visa dan Master Card adalah Amex Card, International
Diners, BCA Card, Procard, Exim Smart, Duta Card, Kassa Card dan beberapa kartu
lainnya yang diterbitkan oleh bank-bank. Umumnya kartu kredit tersebut
dikeluarkan oleh bank-bank umum dan perusahaan pembiayaan. Penerbitan kartu
kredit oleh bank harus melalui
prosedur yang diatur oleh bank Indonesia. Sedangkan ijin penerbitan
kartu kredit oleh perusahaan pembiayaan diberikan oleh Departemen
Keuangan.Misalnya Diners Card oleh PT. Diners Jaya Indonesia Internasional dan
Kassa Card oleh PT. Kassa Multi Finance.[3]Penggunaan
kartu kredit untuk pembayaran sebagai pengganti uang tunai sejak
diperkenalkannya kartu kredit pertama tersebut semakin banyak dikenal dan
digunakan oleh orang.
Namun, beberapa dekade
kemudian industri kartu kredit terutama memasuki akhir dekade 1970-an, telah
merambah hampir ke seluruh bagian dunia,
termasuk Indonesia. Kartu Kredit yangdikeluarkan paling umum digunakan oleh
masyarakat dan berlaku Internasional saat ini terdiri atas berbagai merek,
antara lain yang sangat populer adalah Visa dan Master Card yang masing-masing
dikeluarkan oleh perusahaan kartu kredit Internasional dan Master Card
Internasional.[4]Ada
berbagai perundang-undangan lain yang dengan tegas menyebut dan memberi
landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini yaitu sebagai
berikut :
a. Keppres
No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan
- Pasal
2 ayat 1 dari Keppres No.61 ini antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari Lembaga Pembiayaan adalah
melakukan usaha kartu kredit
- Sementara dalam Pasal 1 ayat 7 disebutkan
bahwa yang dimaksudkan dengan perusahaan Kartu Kredit adalah badan usaha yang
melakukan dengan mempergunakan kartu
kredit.
- Menurut Pasal 3 dari Keppres No.61 ini yang
dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan
tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah :
1. Bank.
2. Lembaga Keuangan Bukan Bank
(sekarang sudah tidak ada lagi dalam system hukum keuangan kita).
3.Perusahaan pembiayaan.
b.Keputusan
Menteri Keuangan no.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali
diubah, terkhir dengan Keputusan Menteri Kuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan.8 - Pasal 2 dari Keputusan Menkeu No.1251 ini kembali
menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan Lembaga pembiayaan adalah
usaha kartu kredit.[5]
-
Selanjutnya dalam pasal 7 ditentukan bahwa pelaksaan kegiatan kartu kredit
dilakukan denagn cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh untuk pembayaran pengadaan
barang/jasa.
c. Undang-Undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan seperti yang telah diubah dengan
Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Sehubungan dengan perbankan, kertu kredit mendapatkan legitimasinya dalam Undang- Undang No.7
Tahun1992 seperti yang telah diubah dengan Undang- Undang No.10 Tahun 1998. Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwa salah satu kegiatan bank adalah melakukan usaha
kartu kredit.[6]
BAB1TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBARUAN HUKUM PIDANA DAN KARTU KREDIT
2.1 Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana
2.1.1 Pengertian Pembaruan Hukum Pidana
Sebelum membahas
lebih lanjut tentang pengertian pembaruan hukum pidana, perlu terlebih dahulu
dipahami apa yang dimaksud dengan pembaruan (reform) itu sendiri, yaitu suatu
upaya untuk melakukan reoroentasi dan reformasi terhadap sesuatu hal yang
ditempuh melalui kebijakan[7],
artinya harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Berkaitan dengan
pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu:
Pembaruan hukum
pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan
criminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.[8]
Dalam hal ini pembaruan
hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform). Jadi pengertian
pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada hakekatnya mengandung makna suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural
masyarakat yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal, dan kebijakan
penegakkan hukum.[9]
Pembaruan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana,[10]
Yang secara etimologis, istilah kebijakan hukum pidana berasal dari
kata “kebijakan” dan “hukum pidana”. Sebagaimana menurut Sudarto yang
dikemukakan oleh Barda Nawawi Airief: Masalah “politik hukum pidana” berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling
baik dalam ari memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain
beliau menyatakan , bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu masa yang
akan datang.[11]
Bertolak dari
uraian tersebut di atas, pembaruan hukum pidana ditentukan dengan kebijakan
hukum pidana itu sendiri, artinya pembaruan hukum pidana dapat diarahkan
melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana berarti
telah mengadakan suatu pembaruan hukum pidana.
Sehubungan dengan
ini, Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut :
Istilah
“kebijakan” diambil dari “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).Bertolak
dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pulan
disebut dengan istilah “politik hukum pidana”.Dalam kepustakaan asing istilah
“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain
“penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.[12]
Untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat
dilihat dari pengertian tentang politik hukum maupun dari politik criminal.
Sedangkan
pengertian politik hukum menurut Sudarto adalah sebagai berikut:
1)
Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
2)
Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.[13]
Lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa melaksanakan politik hukum
pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Selanjutnya juga dikemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti
usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Kebijakan hukum pidana dapat juga dilihat sebagai
bagian dari politik criminal. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan
kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak
dapat delepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang
dilarang.Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari
politik kriminal.Politik kriminal merupakan usaha yang rasional dalam
masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik
kriminal adalah the rational organization of the control of crime by society.[14]
Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan: Kejahatan atau tindak
kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada
dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari
kejahatan. Saparinah Sadli menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan
suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma social yang
mendasari kehidupan atau keteraturan social; dapat menimbulkan ketegangan
individual maupun ketegangan-ketegangan social; dan merupakan ancaman riil atau
potensiil bagi berlangsungnya ketertiban social. Dengan demikian kejahatan
disamping merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah social,
malahan menurut Benedict S. Alper merupakan “the oldest social problem”.[15]
Sebagai suatu
persoalan social yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan
kejahatan telah dimulai terus-menerus.Salah satu usaha pencegahan dan
pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang
berupa pidana.Namun demikian usaha inipun masih sering dipersoalkan.
Sehubungan dengan
masalah ini, menurut Roeslan Saleh sebagaimana dekemukakan oleh Muladi dan
Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alas an mengenai perlunya pidana dan hukum
pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut :
·
Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan
tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh
untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan
terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai
dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan peribadi masing-masing.
·
Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama
sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat
dibiarkan begitu saja.
·
Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada
si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga
masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.[16]
Dengan demikian
Nampak bahwa prevenci khusus dan prevenci umum menjadi pertimbangan utama.
Disisi lain ada pertimbangan nilai yaitu keseimbangan antara nilai dari hasil
perbuatan yang dikenakan pidana dengan biaya yang dikeluarkan.
Penggunaan upaya
hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah
social termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum.Disamping itu karena
tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka
penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.[17]
H.L.Packer dalam
bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, sebagaimana dikemukakan oleh
Muladi dan Barda Nawawi Arief:
a. (the criminal sanction is indispensable; we could not, now or
in the
oreseeable future, get along without it)Sanksi pidana sangatlah
diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang
akan datang, tanpa pidana.
b. (the criminal sanction is the best available device we have
for
dealing with gross and immediate harms and threats of
harm).Sanksi pidana
merupakan alat atau sarana terbaik yang
tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan
atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman
dari bahaya
c. (the criminal sanction is atau once prime guarantor and prime
threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is
guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener)
Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang
utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama
dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan
secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan
pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara
paksa.[18]
Tidak ada absolutism dalam bidang
kebijakan, karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada
masalaha penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternative.Dengan
demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan mengunakan
hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer
di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).
Bertolak dari pengertian kebijakan
hukum pidana di atas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan, bahwa:
Dilihat dari bagian dari politik
hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti,bagaimanamengusahakan atau
membuat da merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik…Dengan
demikian, yang dimaksud “peraturan hukum positif”(the positive rules)
adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal
policy” adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.[19]
Ruang Lingkup
Pembaruan Hukum Pidana
Sebagaimana diketahui, bahwa bagi
bangsa Indonesia yang berasakan Pancasila menjadi falsafah hidup, dan juga
menjadi dasar falsafah negara.Sebagai falsafah hidup bangsa, Pancasila
merupakan jiwa bangsa, kepribadian bangsa, sarana tujuan hidup bansa, pandangan
hidup dan pedoman hidup bangsa.Begitu juga Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia.
Dalam rangka merespon amanat
pembukaan UUD 1945 tersebut maka pembaruan sebagai produk perundang-undangan
yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda
yang patut diprioritaskan.Dengan demikian dari amanat tersebut juga tersimpul
keharusan untuk melakukan pembaruan di bidang hukum.Usaha pembaruan hukum di
Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan
pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti diumuskan
dalam UUD 1945.
Namun mengingat permasalahan hukum
menyentuh aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas sehingga setiap saat berubah,
maka pembaruan tidak dapat dilakukan dalam sekejap.Sebagaimana pengertian
pembaruan hukum pidana yang dikemukakan pada sub-1 di atas, dalam hal ini ruang
lingkup pembaruan hukum pidana meliputi:
i.
Pembaruan substansi hukum pidana;
ii.
Pembaruan struktur hukum pidana; dan
iii.
Pembaruan budaya hukum pidana.
Dalam pembaruan Kebijakan hukum
Pidana Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit melakukan
pembaruan pada aspek pembaruan substansi hukum pidana. Dimana pembaruan
substansi hukum pidana, Barda Nawawi Arief berpendapat:
1)
Suatu reorientasi dan reformasihukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sosio-folosifik, sosio-politik, sosio-kultural masyarakat.
Pembaruan hukum pidana pada dasarnya adalah:
·
Pembaruan konsep nilai
·
Pembaruan ide-ide dasar
·
Pembaruan pokok-pokok pemikiran
·
Pembaruan paradigm/wawasan
2)
Sebagai bagian dari “Sosial Policy”, pembaruan hukum pidana
hakekatnya merupakan bagian dai upaya mengatasi masalah social untuk mencapai
kesejahteraan/perlindungan masyarakat.
3)
Sebagaidari “Criminal Policy”, pembaruan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya penanggulangan kejahatan.
4)
Sebagai bagian dari “Law Enforcement Policy”, pembaruan hukum
pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya menunjang
kelancaran/efektivitas penegakkan hukum.
5)
Pembaruan substansi hukum pidana meliputi:
§ Pembaruan hukum
material
§ Pembaruan hukum
formal
§ Pembaruan hukum
pelaksanaan pidana.[20]
Indonesia sebagai sebuah negara yang
sudah merdeka juga berupaya segera
mengadakan pembaruan KUHP (WvS) yang
disesuaikan dengan politik hukum,
keadaan dan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia
serta diharapkan dapat memenuhi rasa
keadilan dan kemanusiaan jika
dibandingkan dengan undang-undang
warisan kolonial.
Dengan demikian ruang lingkup
kebijakan hukum pidana dapat mencakup
kebijakan di bidang pidana formil,
materiel serta pelaksanaan pidana itu sendiri.
Ruang lingkup kebijakan hukum pidana
ini sangat luas karena tidak hanya
menyangkut hukum pidana dalam arti
materiel (pidana dan pemidanaan) tetapi
juga mengatur tentang bekerjanya
hukum pidana melalui lembaga sub-sistem
peradilan yang ada serta bagaimana
pelaksanaan eksekusinya.
2.2 Kartu
Kredit
2.2.1
Pengertian Kartu Kredit
Kartu Kredit merupakan “uang
plastic” yang dikeluarkan oleh bank, kegunaannya adalah sebagai alat pembayaran
di tempat-tempat tertentu seperti supermarket, hotel, restaurant, tempat
hiburan dan tempat lainnya.[21]
Mengutip beberapa pengertian kartu
kredit dalam penelkitian tesis A.A
Sagoengeng
Poetri Praniti dalam judul Kajian Aspek Pidana Dalam
Dalam Encyclopedia
Americana
“Credit card is
a means of identification by which of the owner may obtain
consumer credit
for the purchase of goods or service rather than pay cash.
At the time of
sale he present his card to the seller, who records the
purchasers name
an account number a long with the price of purchase
records are
sent to a central billing office that calculates the total price of
purchases made
by the card owner during the business month and send
him a bill. The
purchaser returns his personal check covering all or part
of the total to
the central office, which allocates the money to the establish
entitle to it”.[22]
(Terjemahan
bebas :Kartu Kredit adalah suatu alat pengenal, dimana
pemilik boleh
mendapat kredit untuk pembelian barang-barang atau
mendapat
pelayanan dari pada pembayaran kontan. Biasanya pembeli, ia
memberikan
kartunya pada penjual yang mencatat nama pembeli,
menghitung
nomor sebanding dengan harga pembelian. Catatan itu dikirim
ke kantor pusat
pengajuan rekening untuk menghitung harga total dari
pembelian-pembelian
yang telah dibuat oleh pemilik kartu selama usaha
bulanan dan
mengirimkannya suatu isian rekening. Pembeli kembali dapat
menutup cheknya
semua atau bagian totalnya, pada kantor pusat yang
menyediakan
uang untuk pembukuan kredit yang berhak untuk itu).
Menurut Peter
Salim
“Kartu kredit
adalah kartu yang dikeluarkan oleh Bank atau lembaga
keuangan bagi
langganan-langganannya untuk dapat membeli barang dan
jasa dari.
perusahaan yang menerima kartu kredit tersebut, tanpa
pembayaran
dengan uang tunai.”[23]
“Kartu kredit
merupakan alat pembayaran yang memungkinkan si
pemegang kartu
untuk memperoleh barang-barang atau pelayanan dari
pedagang,
dimana peraturan-peraturannya telah dibuat (secara langsung
atau tidak
langsung) oleh orang yang mengeluarkan kartu tersebut, juga
yang membuat
peraturan-peraturan untuk membayar kerugian pada
pedagang. Si
pemegang kartu membayar kepada pembuat kartu menurut
batas
rencana yang khusus.[24]
Di dalam Pasal 1 ayat (8) Kepurusan
Presiden Republik Indonesia No.61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan
disebutkan bahwa Perusahaan kartu kredit (credit card company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan
mengunakan katu kredit.
Dengan demikian kartu kredit adalah
kartu yang dikeluarkan oleh pihak Bank atau lembaga keuangan lainnya, dimana si
pemilik kartu dalam melakukan suatu transaksi dapat memperoleh barang-barang
atau pelayanan jasa dengan menunjukkan kartu tersebut yang juga dapat berfungsi
sebagai alat pembayaran secara tunai.
2.2.2
Jenis-Jenis Dan Ciri-Ciri Kartu Kredit
Adapun jenis-jenis kartu kredit dapat digolongkan berdasarkan
fungsi dan wilayah berlakunya.[25]
Berdasarkan
fungsinya:
§ Credit Card-
sebagai alat pembayaran transaksi jual beli barang atau jasa dimana pelunasan
atau pembayarannya kembali dapat dilakukan
§ Charge Card-
adalah sebagai alat pembayaran suatu transaksi jual beli barang atau jasa
dimana nasabah harus membayar kembali seluruh tagihan secara penuh pada akhir
bulan atau bulan berikutnya
§ Debit Card- merupakan
transaksi tunai dengan tidak menggunakan uang tunai akan tetapi pelunasannya
atau pembayarannya dilakukan denagn cara mendebit (mengurangi) secara langsung
saldo rekening simpanan pemegang kartu yang bersangkutan dan dalam waktu yang
sama mengkredit rekening penjual (merchant) sebesar jumlah nilai transaksi pada
bank penerbit (pengelola).
§ Cash Card-
kartu yang memungkinkan pemegang katru untuk menarik uang tunai baik langsung
pada kasir bank maupun melalui ATM bank tertentu.
§ Check Guarante
Card- sebagai jaminan dalam penarikan cek oleh pemegang kartu.
Ciri-ciri
Kartu Kredit
Dari berbagai macam kartu kredit
yang diterbitkan oleh pengelola kartu kredti di Indonesia, terdapat ciri-ciri
umum yang sama antar satu dengan yang lain, yaitu:[26]
a. Tampak Muka
:
1) Nomor kartu
2) Masa berlaku
3) Nama
pemegang kartu
4) Logo dan
nama dari bank penerbit
5) Nomor
identifikasi dari bank penerbit.
6) Hologram
(gambar tiga dimensi) khususnya untuk : Master Card, Visa,
Astra
Card, BCA Card.
b. Tampak
Belakang
1) Signature
Panel (Panel tanda tangan)
2) Magnetic
Stripe
3) Debosing
number (nomor yang dicetak tenggelam) yang sama dengan
tercetak di
depan.
Ciri-ciri tersebut diatas bukanlah
merupakan ciri-ciri yang hanya terdapat
pada kartu
kredit, karena sebagaian dari ciri-ciri tersebut dapat ditemukan
pada beberapa
macam kartu yang diterbitkan oleh bank atau lembaga
keuangan lain,
misalnya: kartu ATM, Discount Card, dan lain-lain. Namun
karena
penggunaan kartu kredit didasarkan perjanjian antara pihak-pihak
terkait, maka
yang membedakan kartu kredit dengan kartu lain yang
mempunyai
ciri-ciri yang sama, adalah bahwa hanya pemegang kartu kredit
yang akan
memperoleh fasilitas kredit sesuai dengan perjanjian dimaksud.
2.2.3 Pihak-Pihak
Yang Terkait Dan Syarat Pemegang Kartu Kredit
Dalam industri kartu kredit, adapun
pihak-pihak yang terkait
didalamya,
antara lain :
a. Issuer Card,
merupakan pihak atau lembaga yang mengeluarkan dan
mengelola suatu
kartu. Penerbit dapat berupa bank, lembaga keuangan lain
dan perusahaan
non lembaga keuangan. Perusahaan yang khusus menerbitkan
kartu kredit
hams terlebih dahulu memperoleh ijin dari Departemen
Keuangan.
Apabila penerbit adalah bank, maka harus mengikuti ketentuan
dari Bank
Indonesia. Selanjutnya dalam tesis ini, Issuer Card disebut sebagai
Penerbit.
b. Acquirer,
adalah lembaga yang mengelola penggunaan kartu kredit, terutama
dalam hal
pembayaran kepada pedagang (merchant) dan menagih kepada
pihak issuer
yang tidak berhubungan langsung dengan pedagang. Acquirer
juga sering
disebut dengan istilah Pengelola.
c.
Cardholder/Cardmember/Pemegang Kartu, adalah seorang atau nasabah yang
telah memenuhi
prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan sehingga
berhak untuk
memegangkartu kredit dan menggunakannya sesuai dengan
syarat-syarat
yang telah ditentukan.
d.
Merchant/Pedagang, adalah pedagang ayang telah ditunjuk /disetujui oleh
pihak Pengelola
untuk dapat melakukan transaksi dengan Pemegang Kartu
yang
menggunakan kartu kredit sebagai pengganti uang tunai.
Adapun
prosedur untuk mendapatkan kartu kredit, antara lain:
1. Dari sisi
pemegang
Calon pemegang
diwajibkan mengisi formulir permohonan dan harus
memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Bila calon pemegang adalah
seorang pengusaha, maka syarat yang
diperlukan adalah:
1) K.T.P. atau Pasport
2) Rekening koran selama
3 (tiga) bulan
3) Akte pendirian
perusahaan atau S.I.U.P.
b. Bila calon pemegang adalah
seorang karyawan, maka syarat yang
diperlukan adalah :
1) K.T.P. atau Pasport.
2) Keterangan gaji dan
masa kerja dari perusahaan tempat pemohonbekerja.
c. Bila calon pemegang adalah
Dokter, Pengacara, Akuntan dan
sebagainya, maka syarat yang
diperlukan adalah :
1) K.T.P. atau
Pasport.
2) Rekening
korang selama 3 (tiga) bulan.
3) Surat ijin
praktek.
2. Dari sisi
Penerbit
Permohonan
kartu kredit tersebut diproses dengan memperhatikan segi
keamanan,
antara lain :
a. Memeriksa keaslian dari
KTP/Pasport yang ada.
b. Melakukan crosschecking (rating)
kepada penerbit lain apabila pemohonmempunyai kartu kredit lain
c. Melakukan penelitian dalam daftar
hitam BI atau AKKI
d. Pihak penerbit akan melakukan
penyelidikan lapangan.
e. Meneliti data rekening/tabungan
dan keterangan gaji yang ada untuk
menetapkan apakah pemohon layak
diberikan kartu kredit.
Penerbit berhak
menetukan apakah calon pemegang layak mendapatkan
kartu kredit
atau menolak keanggotaan tanpa memberitahukan alasannya. Bila
disetsujui maka
akan terjadi proses sebagai berikut:
a. Bagian analisa kredit akan mengirimkan
data calon pemegang ke bagiandata
entry untuk dilakukan pemasukan data ke dalam data base banktermasuk pagu kredit yang disetujui.
b. Dilakukan pengecekan silang
terhadap data yang dimasukkan dengan
formulir permohonan calon pemegang.
c. Selanjutnya bagian pencetakan
kartu mencetak kartu kredit sesuai dengandaftar
permintaan pencetakan (bila terjadi kesalahan dalam pencetakan,kartu kredit tersebut akan dimusnahkan dengan
suatu berita acarapemusnahan).
d. Kartu yang sudah dicetak disimpan
pada tempat penyimpanan khusus dantercatat
yang selanjutnya dikirimkan ke bagian pengiriman kartu.
e. Bagian pengiriman akan
mengirimkan kartu kepada pemegang melalui
ekspedisi (kurir) yang ditunjuk
melalui suatu perjanjian khusus. Pihak
ekspedisi akan memberikan bukti
penerimaan kartu kepada bagian
pengiriman (pihak bank) setelah
kartu diterima oleh pemegang kartu. Biladalam
jangka waktu tertentu kartu tidak dapat disampaikan kepada
pemegang kartu karena pemegang kartu
keluar kota, tidak ada di tempat
atau pindah alamat, maka kartu
tersebut akan dikembalikan ke bank untukdisimpan
dan selanjutnya pihak bank akan mengirimkan pemberitahuankepada
pemegang kartu untuk mengambil kartu tersebut di
kantorpenerbit.
Keuntungan dan
Kerugian Penggunaan Kartu Kredit
Setiap nasabah yang memegang kartu
kredit selalu mendambakan berbagaikemudahan dan keuntungan lainnya.Hal ini sesuai
dengan tujuan penggunaankartu kredit tersebut.Agar para nasabah tidak terjebak
dalam berbagai masalahdengan memegang kartu yang diperolehnya, maka pemilihan
untuk memegangkartu perlu lebih hati-hati, karena setiap jenis kartu memiliki
keuntungan dan kerugian masing-masing.[27]
Cara memilih jenis kartu yang baik
dapat dilihat dari berbagai segi, setiap
kartu mempunyai
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Secara umum
kartu kredit
dikatakan baik apabila :
1. Persyaratan
untuk memperoleh kartu kredit relatif ringan.
2. Proses cepat
dan mudah serta tidak bertele-tele.
3. Mempunyai
jaringan yang luas, sehingga dengan mudah dapat
dibelanjakan di
berbagai tempat yang diinginkan.
4. Biaya
penggunaan yang relatif rendah seperti uang iuran tahunan dan bunga
yang dibebankan
ke pemegang kartu.
5. Kartu harus
dapat digunakan dengan multi fungsi.
6.
Penggunaan kartu memberikan rasa bangga kepada pemakainya.
BAB2RELEVANSI
PEMBARUAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT
Tindak
Pidana Pemalsuan Kartu Kredit Dalam KUHP
Negara hukum merupakan istilah yang
meskipun kelihatan sederhana
namun
mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara
hukum
adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari 2 suku kata yaitu negara
dan
hukum. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling
isimengisiantara negara di satu pihak dan hukum dipihak lain.[28]
HAM sebagai
bagian
tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya
pengakuan
konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan
elemen
esensial konstruk Indonesia modern.[29]
Individu/ perorangan dengan
hak
asasinya dapat didekati lebih dahulu lewat hukum internasional, karena
individu
selain diakui sebagai subjek hukum internasional juga subjek
hukum
nasional, sehingga memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab
formal
dan jelas.[30]
Kejahatan kartu kredit memerlukan
proses hukum yang adil. Menurut
Mardjono
Reksodiputro, proses hukum yang adil adalah lebih jauh darisekedar penerapan
hukum atau perundang-undangan formal. Dalampengertian proses hukum yang adil
terkandung penghargaan akankemerdekaan seorang warga negara. Dengan demikian,
meskipun wargamasyarakat telah melakukan suatu perbuatan tercela (tindak
pidana), hak-haknyasebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang.[31]
Dalam hukum pidana
modern yang bercirikan orientasi pada pelaku
dan perbuatan (daad-daderstrafsrecht), sanksi pidana ini tidak lagi
hanyameliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, akan tetapi
juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relative bermuatan
pendidikan.[32]
Istilah tindak
pidana merupakan istilah teknik yuridis yang berasal dariterjemahan delict atau
strafbaar feit disamping istilah lainnya sepertiperistiwa pidana,perbuatan
pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan yang
boleh dihukum.Moeljatno dalam bukunya tentang azas-azas hukum pidanamemberikan
definisi tindak pidana yaitu:
“Perbuatan
yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan
tersebut”[33]
Berdasarkan
pengertian tersebut M.Sudrajat Bassir memberikankomentar bahwa menurut wujud
atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana adalah perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum. Perbuatan-perbuatan inijuga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan
atau menghambatterlaksananya tata cara dalam pergaulan masyarakat yang dianggap
baik danadil. Sehingga suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana
apabilaperbuatan tersebut :
1. Melawan hukum
2. Merugikan masyarakat
3. Dilarang oleh aturan pidana
4. Pelakunya diancam dengan pidana.[34]
Dalam kaitannya
dengan tindak pidana di bidang perbankan, khususnya
dalam tindak pidana pemalsuan, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
263 KUHP,
yaitu :
(1) Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapatmenimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang dapat diperuntukkan sebagai
bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain memakai suratsurat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu,
diancam juga pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena
pemalsuansurat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun;
(2) Dipidana
dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau
yang dipalsukan seolah-olah sejati, jikapemakaian surat itu dapat menimbuikan
kerugian.[35]
Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal
263 KUHP. Rumusan pada ayat (1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur obyektif
1) Perbuatan :
a) membuat palsu;
b) memalsu;
2) Obyeknya :
yakni surat:
a) yang dapat
menimbulkan suatu hak;
b) yang
menimbulkan suatu perikatan;
c) yang
menimbulkan suatu pembebasan hutang;
d) yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal;
3) Dapat
menimbulkan kerugian akibat dari pemakaian surat tersebut.
b. Unsur Subyektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain memakai seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu.
Unsur kesengajaan
yang demikian itu harus dibuktikan. Pasal 264 KUHP (pemalsuan surat yang
diperberat), merumuskan sebagaiberikut:
(1) Pemalsuan
surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap :
ke-1
akte authentik;
ke-2
surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau sebagainya atau dari suatu lembaga umum;
ke-3
sero atau surat hutang atau sertifikat sero atau hutang darisuatu perkumpulan,
yayasan, perseroan atau maskapai;
ke-4
talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan pada ke-2,
ke-3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat itu;
ke-5
surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untukdiedarkan.
(2) Dipidana
dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut
dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau dipalsukan seolah-o!ah benar
dan tidak palsu, jika pemalsuan itu mendatangkan kerugian.[36]
Nyatalah bahwa yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan suratpada Pasal 264KUHP
diatas terletak pada faktor macamnya surat.
Surat-surat
tertentu yang menjadi obyek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung
kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai
derajat kebenaran yang lebih tinggi daripada surat-surat biasa atau surat
lainnya. Kepercayaan yang lebih besar terhadap kebenaran akan isi dari
macam-macam surat itulah yang menyebabkan diperberat ancaman pidananya. Pasal
264 KUHP, yang masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2) mempunyai
unsur-unsur.Pasal 264 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Semua unsur
baik obyektif maupun subyektif pada Pasal 263 KUHP
2. Unsur-unsur
khusus pemberatnya (bersifat alternatif) berupa obyek surat-surat tertentu, ialah :
a.
Akta-akta otentik
b.
Surat hutang atau sertifikat hutang dari:
1)
Suatu negara
2)
Bagian negara
3)
Suatu lembaga umum
c. 1)
Surat sero
2)
Surat hutang dari suatu perkumpulan
3) Surat hutang
dari suatu yayasan
4)
Surat hutang dari suatu perseroan
5)
Surat hutang dari suatu maskapai
d. 1)
Talon, tanda bukti deviden atau tanda bukti bunga dari surat-surat pada butir b dan c diatas
2)
Tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti suratsuratitu
e. 1) Surat-surat
kredit
2)
Surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
Berbicara tentang
subyek pidana, tidak bisa terlepaskan dariwujud perbuatan sebagai unsur dari
tindak pidana.[37]
Unsur –unsur kejahatan dalam ayat (2) adalah sebagai berikut :
1. Unsur obyektif:
a. Perbuatan :
memakai
b. Obyeknya :
surat-surat tersebut pada ayat (1)
c. Pemakaian itu
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu
2. Unsur subyektif: dengan sengaja.
Terhadap rumusan
ayat (1) Pasal 264 KUHPdengan rumusan ayat (1) Pasal 263 KUHP pada dasarnya
mempunyai arti yangsama antara pemalsuan surat, dengan membuat surat palsu
ataumemalsu surat........dan seterusnya. Sedangkan perbedaannya hanyalahterletak
pada jenis surat yang menjadi obyek kejahatan. Faktor jenissurat-surat tertentu
inilah yang menyebabkan adanya kejahatan yang berdiri sendiri dan merupakan pemalsuan
surat yang lebih beratdaripada bentuk pokoknya (Pasal 263 KUHP).
Melihat kasus yang
terjadi pada tanggal 15 s/d 20 Juni 2001bertempat di PT.Atlantik Tour Cabang
Denpasar Jalan Diponogoro, jika dikaitkan dengan isi Pasal 263 KUHP maka para
terdakwa dalamperbuatannya bahwa kartu kredit yang dipergunakan dalam
melakukantransaksi adalah palsu karena kartu kredit tersebut penerbitnya
bukanHongkong Bank tetapi Bank penerbitnya adalah City Bank VisaSingapura. Di
samping itu kartu kredit tersebut jika dilihat dari hologram tidak terlihat tiga
dimensi dan tidak rapi, semua perbuatanini sudah diketahui dan disadari oleh
para terdakwa bahwa perbuatanini pemalsuan dan dapat menimbulkan kerugian.
Pada dasarnya
untuk dapat dihukum dengan pasal-pasal diatas, unsur nyata dari si pelaku harus
menampakkan adanya suatu maksudbahwa penggunaan surat itu (baik yang terdapat
dalam Pasal 263KUHP), seolah-olah si pelaku itu sendiri maupun dengan caramenyuruh
orang lain untuk menggunakan surat yang dipalsukan itu,seolah-olah asli dan
tidak dipalsukan.
Kata-kata
"dapat" dari pasal diatas, konotasinya adalahkerugian tersebut bisa
terjadi atau dapat juga tidak terjadi, atau dengankata lain kerugian tidak
perlu hoois terjadi atau sudah ada. Sedangkanapa yang dimaksud dengan kerugian
itu sendiri, dalam peraturanperundang-undangan belum menentukan batasannya
secara jelas.Apakah kerugian tersebut harus selalu dikaitkan dengan kerugian
yang
sifatnya materiil atau juga kerugian di lapangan kemasyarakatan,
kesusilaan dan kehormatan.[38]
Kerugian yang
dimaksud daiam Pasal 263 KUHP, tidak sajameliputi kerugian materiil, tetapi
juga kerugian di lapangankemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dan sebagainya,
maka dalamhai ini sangat sulit bagi kita untuk menafsirkan berapa jumlah kerugian(kehormatan,kesusilaan)
dalam bentuk nilai uangnya. Hal inidisebabkan karena sifat dari kerugian yang
bersifat non materiil inihanya dapat dirasakan oleh orang yang merasa
kehormatan maupunnama baik nya dirugikan.
Oleh karena itu,
pembatasan mengenai kerugian ini, hendaknya konsisten dengan perkembangan yang
ada dalam masyarakat, artinyakerugian yang sifatnya non materiil hendaknya
dinilai sesuai dengankepentingan yang berlaku dalam masyarakat.
Yang dihukum
menurut pasal ini tidak saja " memalsukan " surat(ayat 1), tetapi
juga " sengaja mempergunakan " surat palsu (ayat 2).
"Sengaja" maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harusmengetahui
benar-benar, bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika iatidak tahu akan hal
itu, ia tidak dihukum.
Pengenaan Pasal
263 KUHP untuk menjaringpelaku kejahatan kartu kredit memiliki beberapa
kelemahan. Dalamrumusan Pasal 263 KUHP tersebut, dikatakan bahwa tindak
pidanadilakukan dengan membuat surat palsu atau memalsukan surat,sementara
untuk melakukan kejahatan kartu kredit, pelaku tidak perlumemalsukan surat
(misalnya memalsukan surat berupa data nasabahyang dikeluarkan oleh lembaga
pembiayaan kartu kredit).
Tindak Pidana Penipuan Kartu Kredit.
Mengenai penipuan
dalam hal penggunaan kartu kredit, dalam putusannya hakim mendasarinya pada
Pasal 378 KUHP tentang penipuan,yang isinya :
Barang siapa
dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan
melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau
keadaan palsu,
baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun karangan
perkataan-perkataan
bohong, membujuk seseorang untuk memberikan
sesuatu barang,
membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum
karena penipuan,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
Penipu itu pekerjaannya:
a. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang,
ataumenghapuskan piutang
b. Maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri
atauorang lain dengan melawan hak.
c. Membujuknya itu dengan memakai : nama palsu atau keadaan
palsu,akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong
Adapun unsur-unsur Pasal 378 KUHP, antara lain:
1. menggerakkan/membujuk orang lain ( uitloking );
2. agar orang lain : menyerahkan sesuatu, membuat hutang,
menghapuskan
piutang;
3. dengan menggunakan (alat pembujuk/penggerak) : nama palsu,
keadaan palsu, rangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat;
4. dengan maksud : untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan
melawan hukum.
Dalam hal ini
dapat dikemukakan, bahwa penyerahan sesuatu barang
atau uang hams merupakan suatu akibat perbuatan menggerakkan atau
membujuk orang lain, bujukan mana dipergunakan dengan menggunakan
daya
upaya yang terdiri dari nama palsu, rangkaian kata-kata bohong dan
atau tipu
muslihat.
Unsur pemalsuan
dan penipuan yang terjadi pada kasus yang menimpaPT.Atlantik Tour Cabang
Denpasar dan Departemen Store Tragia Kerta Wijaya Jln. Diponegoro.dimana
pelakunya adalah Toyib, Novianto Andrianydan Pria Agustian pada tanggal 15 s/d
20 Juni 2001, adalah kasus tentang penyalah gunaan kartu kredit Berdasarkan
fakta-fakta yang torungkap dalampemeriksaan di persidangan, maka unsur-unsur
tindak pidana yangdidakwakan yaitu :Dakwaan kesatu melanggar Pasal 263 ayat (2)
jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55ayat (1) ke-1 KUHP.Dakwaan kedua melanggar
Pasal 378 jo Pasal64 ayat (1)jo Pasal 55 ayat (10ke-1 KUHP.
3.3 Penanggulangan Penyalahgunaan Kartu Kredit
Terhadap
penanggulangan penyalahgunaan kartu kredit, Teori Politik kriminal digunakan
untuk mengkaji permasalahan ini, dalam hal ini merupakan kebijakan kebijakan
atau usaha yang rasional untukmenanggulangi kejahatan, dimana dalam hal ini
merupakan bagian dari politikpenegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy),
Semuanyamerupakan bagian dari politik sosial (social policy) yaitu usaha
darimasyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
Pidana yang
dikenakan terhadap kejahatan atau pelanggaran yangterjadi di bidang perbankan,
pada dasamya mengikuti ketentuan pidana yangdiatur pada Pasal 10 KUHP, yaitu
pengenaan pidana pokok, dan pidanatambahan. Pidana terhadap perbuatan kejahatan
ataupun pelanggaran yangterjadi hanya mengenakan pidana berupa penjara, kurungan,dan
denda.Sedangkan pidana tambahannya hampir selalu menyertai setiap pengenaanpidana
pokok tersebut, baik berupa altenatif pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim.
3.4 Pentingnya Pembaruan Hukum Pidana
Tertib hukum dapat
diwujudkan melalui suatu perubahan yang teratur,melalui prosedur hukum, baik
yang berwujud perundang-undangan, ataupunkeputusan-keputusan badan peradilan,
lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur yang menggunakan kekerasan
semata-mata.[39]
Penyalahgunaan
kartu kredit memberikan dampak yang kurang baik bagiNegara Indonesia yakni
sebagai negeri sarang pelaku kejahatan dengan kartu kredit dan Indonesia telah
masuk daftar hitam kejahatan dengan pembayaran kartukredit.Sehingga sangat
diperlukan pembaruan KUHP untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP
belum mengatur sementara kejahatannya sangatbanyak terjadi.
Dapat dikatakan,
bahwa pembaruan hukum pidana pada kakikatnya harusditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan ("policy-oriented") dan sekaligus
pendekatan yang berorientasi pada nilai ("value-oriented approach").[40]
BAB3 KEBIJAKAN PEMBARUAN HUKUM PIDANA DALAM
PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT
4.1 Tindak Pidana Pemalsuan dan Penipuan dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu bahwa
pemalsuandiatur dalam Pasal 263 KUHP, yang isinya :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang
dapatmenimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang dapat
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksuduntuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat-surat tersebutseolah-olah isinya benar
dan tidak palsu, diancam juga pemakaian tersebutdapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidanapenjara paling lama enam tahun;
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian
surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Didalam Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1999-2000 pemalsuan juga dicantumkan
dalam Bab XIII tentang TindakPidana Pemalsuan Surat, dimana dalam Pasal 395 nya
menyebutkan:
Dipidana karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama
6 (enam)tahun atau denda paling banyak Rp.7.500.000,-(tujuh juta lima ratus
riburupiah), setiap orang yang :
a. membuat secara
tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak perikatan atau pembebasan hutang atau
diperuntukkan sebagai
bukti dari suatu
hal, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh
orang lain
menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika
penggunaan surat
tersebut dapat menimbulkan kerugian, atau
b. dengan sengaja
menggunakan surat yang isinya tidak benar atau dipalsu,
seolah-olah benar
atau tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.[41]
Sedangkan di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tahun2008, dalam bab XIV diatur mengenai tindak pidana pemalsuan suratKetentuan
Pasal 452 RKUHP 2008 menyatakan bahwa :
Dipidana karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama
6
(enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, setiap
orang yang:
a. Membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan
suatu hak, perikatan, pembebasan utang, atau yang diperuntukan
sebagai
bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh
orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu,
jika
penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian; atau
b. Menggunakan surat yang isinya tidak benar atau palsu,
seolah-olah benar
atau tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan
kerugian.
Ketentuan Pasal 453 RKUHP menyatakan bahwa:
Dipidana karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama
9(sembilan) tahun, setiap orang yang:
a. Membuat secara
tidak benar atau memalsu;
1.
Akta otentik
2.
Surat utang atau sertifikat utang dari suatu Negara ataubagiannya atau dari suatu lembaga umum
3.
Saham, surat utang, sertifikat saham, sertifikat utang darisuatu perkumpulan,
yayasan, perseroan atau persekutuan;
4.
Talon, tanda bukti dividen atau tanda bukti bunga salahsatu surat sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 dan
angka
3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat tersebut;
5.
Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan gunadiedarkan;
6.
Surat keterangan mengenai hak atas tanah; atau
7.
Surat-surat lainnya
PENUTUP
Berdasarkan latar
belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah diuraikan di atas, maka
dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:
Kesimpulan
1. Pentingnya diadakannya pembaruan hukum dalam
penanggulangantindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dimana ketentuan Pasal
263 dan Pasal 378 KUHP tidak relevan digunakan untukmenanggulangi tindak pidana
penyalahgunaan kartu kredit. Beberapakelemahan dari Pasal 263 dan Pasal 378
KUHP antara lain:
1. Kartu kredit
tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat
2. Hal yang
dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain
yang telah berhasil dicuri melaluipenipuan lewat telepon kepada si
korban.
Dengan demikian untukmengantisipasi penyalahgunaan kartu kredit,
maka kebijakan yangharus ditempuh oleh Pemerintah adalah penemuan hukum
(rechtfinding) harus segera dilakukan dikarenakan belum adaketentuan yang
mengatur mengenai penanggulangan kartu kredit.
Saran
1. Dikarenakan pentingnya pembaruan hukum pidana terhadap tindak
pidanapenyalahgunaan kartu kredit maka koordinasi,kesamaan persepsi
dankerjasama antar pihak Bank, POLRI, Kejaksaan, Hakim harus semakinlebih baik
dimana para pihak tersebut merupakan bagian penting di dalampenanggulangan
secara tuntas terhadap kasus-kasus penyalahgunaan kartukredit yang semakin
marak.
2. Pembaruan hukum pidana khususnya terhadap tindak
pidanapenyalahgunaan kartu kredit harus dapat segera dilaksanakan, karenadengan
semakin maraknya penyalahgunaan kartu kredit bukan sajamerugikan korban dan
penerbit kartu kredit tersebut tetapi juga berdampaknegative bagi perkembangan
ekonomi Negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
§ Sudikno
Mertodikusumo.1985.Mengenal hukum (Suatu Pengantar) Liberty Yogyakarta.
§ Dahlan Siamat,
2001, Manaiemen Lembaga Keuangan, Edisi III, Lembaga Penerbit FE Ul.
§ Leden
Marpaung.1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Sinar Grafika.
Jakarta.
§ Barda Nawawi
Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana Pasca SarianaUniversitas
Indonesia. Jakarta
§ Sudarto. 1981,
Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung, (selanjutnyadisingkat Sudarto II).
§ http://thimutz.blogspot.com/2010/10/pengertian-dan-dampak-deregulasi-dari.html
[1]Sudikno Mertodikusumo, 1985, Mengenal hukum (Suatu Pengantar)
Liberty, Yogyakarta,hal.3
[3]Dahlan Siamat, 2001, Manaiemen Lembaga Keuangan, Edisi III, Lembaga
Penerbit FE Ul,Hal. 309.
[4]Ibid, hal.400.
[5]Leden Marpaung.1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana
Ekonomi. Sinar
Grafika. Jakarta. hal.130.
[6]http://www.scribd.com/doc/22370900/Paper-Tentang-Kartu-Kredit
diakses pada tanggal 13.10.2012
[7]Barda Nawawi Arief II, op.cit, hal. 27
[8]Ibid, hal.48.
[9]Ibid. hal.27-28
[10]Ibid
[11]Ibid.hal.25.
[12]ibid. hal.24
[13]ibid. hal 24-25
[14]Sudarto I, op.cit.hal.162.
[15]Muladi Dan Barda Nawawi Arief I, Op.cit, hal. 148-149.
[16]Ibid, hal.152-153.
[17]ibid. Hal149
[18]Ibid,hal.155-156.
[19]Ibid,hal.25.
[20]http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf
[21]Kasmir I, Op cit, hal. 117.
[22]Praniti, A.A. Sg. op.cit.hal90
[23]Ibid
[24]Ibid
[25]Dahlan Siamat. Op.cit. hal. 401.
[26]Juklak POLRI, Op. Cit, hal. 4.
[27]Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Edisi Revisi 2001), PT.
Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001,hal.307.
[28] Majda El Muhtaj,2008, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi
Sosial dan Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 46-47.
[29]Ibid, hal.59.
[30] Masykur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM)
Proses Dinamika Penyusunan Hukum HAM (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.
[31] Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem
Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, hal 28.
[32]Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP
UNDIP. Semarang.1997.hal.151
[33]Moeljatno, 1980, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal.1
[34] Sudrajat Bassir M, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu didalam
KUHP, Remadja Karya, Bandung, hal.2
[35] Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT. Raja
Grafindo Persada, hal. 98.
[36] Ibid,hal 107.
[37]Wiryono Prodjodikoro. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.
Eresco.Bandung.hal.56.
[38]Marulak Pardede I, op.cit, hal. 95.
[39]Mochtar Kusumaatmaja. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan.Alumni.
Bandung.2002.hal.120.
[40]Barda Nawawi II, op.cit,hal.31
[41]Rancangan
UP Rl tentang KUHP. Direktorat Perundang-Undangan, Direktorat JenderalHukum dan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan
Perundang-Undangan, 1999 - 2000, hal. 148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar